"Aku seperti burung hantu di padang gurun, seperti burung punguk di reruntuhan."
Ayat Mazmur 102:6 ini memberikan gambaran yang begitu kuat tentang isolasi dan kehancuran. Sang pemazmur menggambarkan dirinya seperti burung hantu di padang gurun atau burung punguk di reruntuhan. Kedua gambaran ini, meski berbeda dalam detailnya, sama-sama melukiskan keadaan kesendirian, kesepian, dan berada di tempat yang ditinggalkan atau rusak. Burung hantu, khususnya, sering diasosiasikan dengan malam hari, keheningan, dan tempat-tempat yang jarang dihuni manusia. Keberadaannya di padang gurun mempertegas ketidakramahan lingkungan dan kejauhan dari keramaian serta kehidupan.
Demikian pula, gambaran burung punguk di reruntuhan sangatlah kuat. Reruntuhan seringkali merupakan sisa-sisa dari sesuatu yang dulunya megah namun kini telah hancur dan terlupakan. Berada di sana, di tengah kehancuran fisik, mencerminkan kehancuran batin atau keadaan yang menyedihkan. Tidak ada lagi kehidupan yang semarak, hanya puing-puing dan kesunyian. Pemazmur, dalam penderitaannya, merasakan dirinya terasing, terbuang, dan ditempatkan di lingkungan yang tidak menyenangkan, seperti halnya hewan-hewan malam yang mencari tempat sepi.
Namun, di sinilah keindahan dan kedalaman Mazmur 102 terungkap. Meskipun ayat ini melukiskan keputusasaan yang mendalam, konteks keseluruhan dari Mazmur 102 bukanlah tentang menyerah pada kehancuran. Sebaliknya, mazmur ini adalah sebuah doa yang mengalir dari hati yang tertindas, namun tetap memegang teguh harapan kepada Tuhan. Sang pemazmur mengakui realitas penderitaannya yang parah, mengakui rasa sakit dan isolasinya, tetapi ia tidak membiarkan itu menjadi akhir dari ceritanya.
Perumpamaan burung hantu dan burung punguk ini menjadi alat retoris yang efektif untuk menyampaikan kedalaman perasaannya kepada Tuhan. Ia tidak menyembunyikan kesakitannya, melainkan mempresentasikannya secara jujur. Di tengah gambaran kehancuran ini, ada sebuah pengakuan tentang kedaulatan Tuhan yang tidak lekang oleh waktu. Ia berbicara tentang kekekalan Tuhan, tentang bagaimana Tuhan membangun kembali dan akan mengasihani Sion.
Bagi kita yang membaca, Mazmur 102:6 menjadi pengingat bahwa bahkan di saat-saat tergelap, ketika kita merasa sendirian, terbuang, dan dikelilingi oleh 'reruntuhan' kehidupan kita—baik itu kegagalan, kehilangan, atau kekecewaan—masih ada harapan. Harapan itu terletak pada pengenalan akan Tuhan yang kekal, yang tidak terpengaruh oleh keadaan sementara. Sama seperti Tuhan yang mengangkat Sion dari puing-puing, Dia juga dapat mengangkat kita dari jurang keputusasaan. Gambaran yang suram ini justru menjadi titik tolak untuk sebuah doa yang penuh keyakinan bahwa Tuhan mendengar, Tuhan peduli, dan Tuhan berkuasa untuk memulihkan. Pengakuan atas keadaan yang menyedihkan ini justru menjadi dasar untuk berseru kepada sumber kekuatan dan pengharapan sejati.