"Jikalau aku melupakan Engkau, ya Yerusalem, biarlah tangan kananku menjadi lupa diri."
Mazmur 137 adalah sebuah ratapan yang mendalam dari bangsa Israel yang diasingkan di tanah Babel. Di tengah kepedihan dan kerinduan akan tanah air mereka, penyair mazmur mengungkapkan kesetiaan yang tak tergoyahkan kepada Yerusalem, pusat spiritual dan identitas mereka. Kalimat pembuka ayat kelima, "Jikalau aku melupakan Engkau, ya Yerusalem...", bukan sekadar ungkapan kekecewaan sesaat, melainkan sebuah sumpah yang diperkuat dengan ancaman kehilangan kemampuan diri.
Tangan kanan dalam budaya kuno sering kali melambangkan kekuatan, kemampuan untuk bertindak, dan keahlian. Dalam konteks ini, penyair bersumpah bahwa jika ia sampai melupakan Yerusalem, maka tangan kanannya, sumber segala kemampuannya, akan menjadi "lupa diri". Ini berarti, kemampuannya untuk melakukan apa pun, baik itu bekerja, menciptakan, atau bahkan mempertahankan diri, akan hilang. Ia akan menjadi tidak berdaya, seolah-olah tangan itu tidak lagi menjadi bagian dari dirinya, karena kesetiaan kepada Yerusalem telah terputus.
Penegasan ini menunjukkan betapa dalamnya ikatan emosional dan spiritual antara umat Allah dengan kota tempat hadirat Tuhan bersemayam. Yerusalem bukanlah sekadar sebuah kota geografis, melainkan simbol dari perjanjian, identitas, dan harapan keselamatan. Melupakan Yerusalem berarti melupakan Tuhan itu sendiri, melupakan janji-janji-Nya, dan merelakan identitas sebagai umat pilihan-Nya lenyap. Hal ini adalah pengkhianatan tertinggi yang tidak boleh terjadi.
Dalam keterasingan, di mana mereka dipaksa menyanyikan lagu-lagu Sion di tanah asing, kerinduan akan Yerusalem justru semakin membara. Sumpah dalam Mazmur 137:5 ini menjadi pengingat yang kuat bagi diri sendiri dan bagi generasi mendatang bahwa cinta dan kesetiaan kepada Tuhan serta tempat suci-Nya haruslah menjadi prioritas utama. Hal ini mengajarkan kita tentang pentingnya memegang teguh iman dan identitas spiritual kita, terutama ketika kita menghadapi tantangan, kesulitan, atau godaan untuk mengabaikan apa yang paling berharga.
Kutipan ini mengajak kita untuk merenungkan apa yang menjadi "Yerusalem" dalam kehidupan kita saat ini. Apakah itu iman kita, nilai-nilai kebaikan, kasih kepada sesama, atau tugas panggilan yang dipercayakan Tuhan? Komitmen yang diungkapkan dalam mazmur ini adalah janji yang berakar pada kedalaman hati, sebuah kesadaran bahwa melupakan inti dari jati diri spiritual kita akan membawa konsekuensi yang mendalam, serupa dengan kehilangan fungsi anggota tubuh yang paling vital.
Oleh karena itu, Mazmur 137:5 bukan hanya catatan sejarah kesedihan Israel, tetapi juga sebuah panggilan abadi untuk memelihara ingatan, cinta, dan kesetiaan kita kepada Tuhan dan segala yang Dia wakili dalam hidup kita. Ini adalah pengingat bahwa akar spiritual kita adalah sumber kekuatan dan identitas kita yang sesungguhnya.