Ayat Mazmur 53:3 menyajikan sebuah gambaran yang lugas dan menyedihkan mengenai kondisi moral umat manusia. Penulis mazmur, dengan pengamatan yang tajam, menyatakan bahwa "Semua orang telah menyimpang, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak." Pernyataan ini bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah diagnosis mendalam tentang sifat dasar manusia yang, tanpa intervensi ilahi, cenderung menjauhi kebaikan dan kebenaran.
Istilah "menyimpang" (atau "berbalik" dalam terjemahan lain) mengindikasikan sebuah pergeseran dari jalan yang benar. Ini bukan sekadar kesalahan sesekali, melainkan sebuah pola perilaku yang sistematis. Manusia, dalam kebebasannya, memilih untuk berpaling dari tuntunan Tuhan dan norma moral yang telah ditetapkan. Penyimpangan ini dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari kebohongan, ketidakjujuran, keserakahan, hingga kekerasan dan penindasan.
Selanjutnya, ayat ini menambahkan frasa "semuanya telah bejat" (atau "rusak"). Kata "bejat" menyiratkan adanya kerusakan intrinsik, sebuah kemerosotan moral yang telah merasuki jiwa dan pikiran manusia. Ini bukan lagi sekadar masalah pilihan, tetapi sudah menjadi kondisi yang lebih dalam. Kejatuhan manusia, sebagaimana diyakini dalam banyak tradisi keagamaan, telah mempengaruhi seluruh aspek keberadaan manusia, merusak relasinya dengan Tuhan, sesama, dan bahkan dengan dirinya sendiri.
Pernyataan yang paling kuat dan menggugah adalah penutupnya: "tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak." Sekilas, ini mungkin terdengar ekstrem. Bukankah ada orang-orang yang melakukan perbuatan baik? Namun, dalam konteks teologis, pernyataan ini seringkali dipahami dalam kaitannya dengan standar kebaikan Tuhan yang mutlak dan sempurna. Kebaikan manusia, jika diukur dengan standar ilahi yang tanpa cacat, seringkali terbukti tidak mencukupi, bercampur dengan motif egois, atau hanya bersifat parsial. Apa yang mungkin kita anggap "baik" seringkali masih jauh dari kesempurnaan kebaikan yang dikehendaki Tuhan.
Mazmur 53:3 mengingatkan kita bahwa kondisi manusia pada dasarnya rapuh dan rentan terhadap dosa. Tanpa anugerah dan pertolongan ilahi, kita cenderung jatuh ke dalam kesalahan dan kerusakan moral. Ayat ini bukan untuk membuat kita putus asa, melainkan untuk mendorong kerendahan hati, pengakuan akan keterbatasan kita, dan pencarian yang lebih dalam akan sumber kebaikan yang sejati, yaitu Tuhan sendiri. Dengan memahami kelemahan diri, kita dapat lebih menghargai karya penebusan dan pemulihan yang ditawarkan.