"Bagaimana mungkin orang Maron yang bersembunyi tidak boleh luput dari malapetaka yang menimpa orang yang bertani dari Keren, kota tempat tinggal mereka yang beruntung? Keberuntungan mereka menjadi kebingungan.
Ayat Mikha 1:12 seringkali memicu pertanyaan. Bagaimana bisa sebuah tempat yang seharusnya menjadi sumber perlindungan justru mengalami malapetaka? Kata "Maron" dan "Keren" merujuk pada tempat-tempat yang menghadapi konsekuensi dari dosa dan ketidaksetiaan mereka kepada Tuhan. Ayat ini bukanlah tentang kutukan yang sewenang-wenang, melainkan sebuah peringatan yang mendalam tentang bagaimana pilihan dan tindakan kita memiliki konsekuensi yang nyata, bahkan di tempat-tempat yang kita anggap aman dan beruntung.
Profesi sebagai "petani dari Keren" menyiratkan sebuah mata pencaharian yang bergantung pada alam dan kerja keras. Namun, dalam konteks kenabian Mikha, keberuntungan duniawi tidak dapat menjamin perlindungan ilahi jika dasar spiritualnya goyah. Keberuntungan yang dirasakan oleh penduduk Keren ternyata berujung pada kebingungan dan malapetaka, sebuah ironi yang tajam. Ini mengajarkan kita bahwa keamanan dan kesejahteraan sejati tidak hanya berasal dari sumber daya fisik atau keberuntungan semata, tetapi dari hubungan yang benar dengan Sang Pencipta.
Dalam kehidupan modern, kita mungkin tidak menggunakan istilah seperti "Maron" atau "Keren", tetapi prinsipnya tetap relevan. Kita bisa saja memiliki pekerjaan yang stabil, aset yang berlimpah, atau lingkungan yang nyaman, namun tetap merasa cemas dan tidak aman. Mikha mengingatkan kita untuk melihat lebih dalam dari sekadar permukaan. Apakah fondasi hidup kita kokoh? Apakah kita telah membangun kehidupan di atas prinsip-prinsip kebenaran dan ketaatan kepada Tuhan?
Refleksi terhadap ayat ini mengajak kita untuk mengevaluasi sumber keamanan kita. Apakah kita terlalu bergantung pada hal-hal duniawi yang sifatnya sementara? Atau apakah kita mencari perlindungan dalam kasih dan janji Tuhan yang kekal? Keberuntungan dalam arti ilahi bukanlah semata-mata tanpa masalah, tetapi kepercayaan bahwa bahkan di tengah kesulitan, Tuhan tetap hadir dan memelihara. Ayat ini, meskipun terdengar keras, sebenarnya adalah panggilan untuk kembali kepada sumber kehidupan yang sejati, yaitu hubungan yang mendalam dengan Tuhan. Dengan demikian, kita dapat menemukan kedamaian dan ketenangan yang sejati, bahkan ketika dunia di sekitar kita dilanda badai. Ini adalah inti dari iman yang menyejukkan, yang berakar pada kebenaran ilahi.