Mikha 1:8 - Nubuat Kesedihan Yerusalem

"Karena itu aku akan meratap dan merataplah; aku akan berjalan dengan telanjang dan tanpa alas kaki; aku akan membuat ratapan seperti serigala dan perkabungan seperti burung unta."

Simbol Peringatan

Kitab Mikha, salah satu nabi kecil dalam Perjanjian Lama, menyampaikan pesan kenabian yang penuh dengan peringatan dan nubuat tentang penghakiman Allah atas umat-Nya dan bangsa-bangsa di sekitarnya. Pasal pertama dari kitab ini secara khusus menggambarkan kesedihan mendalam sang nabi yang menyaksikan dampak dosa dan ketidakadilan yang merajalela, terutama di Yerusalem dan Samaria. Ayat kedelapan, "Karena itu aku akan meratap dan merataplah; aku akan berjalan dengan telanjang dan tanpa alas kaki; aku akan membuat ratapan seperti serigala dan perkabungan seperti burung unta," adalah gambaran yang sangat kuat tentang penderitaan dan penyesalan yang dirasakan Mikha.

Frasa "meratap dan merataplah" menunjukkan intensitas kesedihan yang luar biasa. Ini bukan sekadar kesedihan biasa, melainkan jeritan hati yang terdalam atas apa yang akan menimpa umat Allah. Tindakan "berjalan dengan telanjang dan tanpa alas kaki" adalah simbol kuno yang melambangkan kehinaan, kemiskinan ekstrem, dan kehilangan segala sesuatu, termasuk martabat dan perlindungan. Ini merupakan gambaran visual yang mengerikan tentang kondisi yang akan dialami oleh kota dan penduduknya sebagai akibat dari pelanggaran perjanjian mereka dengan Allah.

Perbandingan ratapan dengan "serigala" dan perkabungan dengan "burung unta" semakin mempertegas kedalaman dukacita. Serigala dikenal dengan lolongannya yang melengking dan memilukan di malam hari, sementara burung unta sering dikaitkan dengan suara yang nyaring dan meratap serta kebiasaan membiarkan telur-telurnya di tanah tanpa banyak perlindungan, mencerminkan kerapuhan dan keputusasaan. Mikha menggunakan citra alam yang akrab untuk menyampaikan rasa sakit yang sangat pribadi namun juga kolektif.

Nubuat ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga merupakan peringatan ilahi yang serius. Allah, melalui Mikha, menunjukkan betapa Ia memandang rendah dosa dan ketidakadilan. Penolakan terhadap hukum-Nya dan penindasan terhadap kaum lemah akan membawa konsekuensi yang berat. Yerusalem, sebagai pusat ibadah dan pemerintahan, seharusnya menjadi teladan kebenaran, namun malah terjerumus dalam berbagai kebejatan. Kehancuran yang dinubuatkan oleh Mikha adalah panggilan untuk bertobat.

Pesan Mikha 1:8 mengingatkan kita bahwa tindakan memiliki konsekuensi. Ketidaktaatan dan ketidakadilan tidak dapat diabaikan oleh Allah. Kesedihan Mikha adalah cerminan dari kesedihan Allah sendiri terhadap umat-Nya yang menjauh dari jalan-Nya. Namun, di balik nubuat penghakiman ini, selalu tersirat harapan akan pemulihan bagi mereka yang mau kembali kepada-Nya. Pesan ini tetap relevan hingga kini, mendorong kita untuk merefleksikan keadaan rohani kita, masyarakat kita, dan kehidupan kita di hadapan Allah yang kudus dan adil.