Pengkhotbah 2:15 - Kebijaksanaan dan Kebodohan

"Maka pikirku: Nasib orang bodoh akan menimpa aku juga, sama seperti nasib orang berhikmat. Mengapa aku menjadi begitu bijaksana?" Lalu aku berpikir dalam hati: "Baik pengalaman orang bijak maupun pengalaman orang bodoh, keduanya akan dilupakan orang. Di hari-hari mendatang, orang akan melupakan keduanya. Ya, betapa matinya orang bijak sama seperti matinya orang bodoh."

Pengkhotbah, sang filsuf dan raja yang bijaksana, merenungkan hakikat kehidupan dan ketidakberdayaan manusia di bawah matahari. Dalam pasal kedua kitab Pengkhotbah, ia mengeksplorasi berbagai upaya mencari makna dan kebahagiaan—mulai dari kesenangan duniawi, pekerjaan, kekayaan, hingga kebijaksanaan itu sendiri. Namun, di tengah segala pencariannya, ia menemukan sebuah kebenaran yang merendah: semua yang dilakukan manusia, baik oleh orang bijak maupun orang bodoh, pada akhirnya akan dilupakan. Ayat 15 dari pasal kedua ini secara gamblang menyatakan kesamaan nasib antara orang yang berhikmat dan yang tidak. Pengkhotbah bertanya, "Mengapa aku menjadi begitu bijaksana?" seolah meratapi keadaan di mana kebijaksanaannya pun tidak memberinya keunggulan abadi. Pengalaman dan pengetahuan yang dikumpulkan dengan susah payah akan memudar seiring waktu. Kematian, sang penyeimbang agung, datang untuk semua tanpa pandang bulu. Orang bijak dan orang bodoh akan mengalami akhir yang sama, dan ingatan tentang keberadaan mereka pun akan lenyap ditelan zaman. Renungan ini bukanlah ajakan untuk keputusasaan, melainkan sebuah pengingat akan kefanaan hidup duniawi. Ketika kita menyaksikan bagaimana pencapaian terbesar pun bisa terhapus dari sejarah, kita diingatkan untuk tidak menaruh seluruh harapan dan makna hidup kita pada hal-hal yang sementara. Pengkhotbah tidak menolak pentingnya kebijaksanaan; ia justru menjalaninya dengan mendalam. Namun, ia melihat bahwa kebijaksanaan sejati mungkin terletak pada pemahaman akan keterbatasan dan kefanaan eksistensi manusia. Di era modern ini, di mana kesibukan dan ambisi seringkali menjadi fokus utama, renungan Pengkhotbah 2:15 menjadi relevan. Kita terus berlomba untuk mengukir nama, meninggalkan warisan, dan mencari pengakuan. Namun, ayat ini mengajak kita untuk sejenak berhenti dan merenungkan. Apa yang benar-benar bernilai dalam jangka panjang? Apakah pencapaian materi, status sosial, atau pengakuan duniawi? Atau adakah sesuatu yang lebih fundamental dan abadi? Mungkin, kebijaksanaan yang sesungguhnya adalah menerima keterbatasan kita dan mencari makna di luar pencapaian duniawi. Ini bisa berarti menjalani hidup dengan integritas, mengasihi sesama, menemukan sukacita dalam momen-momen sederhana, atau mencari hubungan yang lebih dalam dengan Sang Pencipta. Pengkhotbah, meskipun meratapi kefanaan di bawah matahari, pada akhirnya menemukan bahwa takut akan Tuhan dan menepati perintah-Nya adalah seluruh kewajiban manusia (Pengkhotbah 12:13). Jadi, mari kita renungkan Pengkhotbah 2:15 bukan sebagai akhir dari segalanya, melainkan sebagai titik awal untuk mengevaluasi kembali prioritas kita. Biarlah kefanaan ini mendorong kita untuk mencari sesuatu yang lebih kekal, sesuatu yang tidak dapat direnggut oleh waktu maupun kematian.