Pengkhotbah 2:23

"Sebab segala harinya adalah kesusahan, dan pekerjaannya pun kesukaran; bahkan dalam malam pun hatinya tidak mendapat istirahat. Inipun kesia-siaan."
Semua Sia-Sia?

Ayat Pengkhotbah 2:23 ini melukiskan sebuah gambaran yang cukup suram tentang pengalaman manusia dalam mengejar kesenangan duniawi dan hasil kerja keras. Di bawah langit yang sama, di bawah matahari yang sama, manusia modern seperti halnya manusia di zaman dahulu, seringkali mendapati dirinya terjebak dalam siklus tanpa akhir dari upaya dan kelelahan. Frasa "Sebab segala harinya adalah kesusahan, dan pekerjaannya pun kesukaran" bukanlah pernyataan penolakan terhadap kerja atau pencapaian, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang inti dari keberadaan ketika fokusnya semata-mata tertuju pada hal-hal yang fana.

Di Balik Kesibukan Duniawi

Kita hidup di era yang serba cepat. Ambisi seringkali didorong oleh keinginan untuk mencapai lebih banyak, memiliki lebih banyak, dan diakui lebih banyak. Pendidikan tinggi, karier yang gemilang, kekayaan materi, dan popularitas menjadi tolok ukur kesuksesan. Namun, seperti yang disinggung oleh Pengkhotbah, ketika semua ini menjadi satu-satunya tujuan, hasilnya adalah sebuah kepuasan yang dangkal, sebuah kelegaan sementara yang segera digantikan oleh rasa "kesusahan" dan "kesukaran". Malam hari pun tidak membawa ketenangan, melainkan bergulir menjadi kekhawatiran akan hari esok, atau penyesalan atas apa yang telah terjadi. Pikiran manusia terus berputar, mencari jawaban dan makna, namun seringkali hanya menemukan kehampaan.

Pencarian yang Tak Berujung

Konsep kesia-siaan dalam Pengkhotbah tidak berarti bahwa segala sesuatu tidak memiliki nilai. Sebaliknya, ini menekankan bahwa hasil dari usaha yang terfokus pada kepuasan pribadi dan materi semata adalah sesuatu yang akan berlalu dan tidak memberikan makna kekal. Manusia secara alami mencari tujuan dan kepuasan yang lebih dalam. Ketika kita hanya mengejar kesenangan dunia, seperti yang digambarkan dalam pasal 2 Pengkhotbah, kita seperti berlari di atas treadmill; kita bergerak, kita berkeringat, tetapi kita tidak pernah benar-benar mencapai tujuan yang memuaskan.

Menemukan Makna yang Sejati

Untuk keluar dari lingkaran kesia-siaan ini, kita perlu menggeser perspektif. Ayat ini, meskipun terdengar pesimistis, sebenarnya merupakan panggilan untuk mencari sesuatu yang lebih abadi. Apa yang memberi istirahat bagi jiwa? Apa yang memberikan makna yang tidak dapat diambil oleh waktu atau kesulitan?

Dalam konteks yang lebih luas dari kitab Pengkhotbah, jawaban yang seringkali muncul adalah pencarian akan Tuhan dan hidup sesuai dengan hikmat-Nya. Ketika pekerjaan dan usaha kita diarahkan untuk melayani sesama, untuk memuliakan Sang Pencipta, dan untuk hidup dalam kebenaran, maka kesusahan dan kesukaran yang kita hadapi dapat memiliki bobot yang berbeda. Beban terasa lebih ringan ketika kita tahu ada tujuan yang lebih besar di baliknya.

Merenungkan Pengkhotbah 2:23 seharusnya tidak membuat kita putus asa, melainkan mendorong kita untuk merefleksikan prioritas kita. Apakah kita mengejar kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan duniawi yang bersifat sementara, atau kita membangun fondasi yang kokoh di atas nilai-nilai kekal? Ketika kita menemukan istirahat sejati dalam hubungan dengan Yang Mahakuasa dan dalam menjalani kehidupan yang bermakna, maka bahkan di tengah kesulitan, hati kita dapat menemukan kedamaian yang sesungguhnya, bukan sekadar jeda sementara.