Pengkhotbah 2:25 - Perenungan tentang Kehidupan

"Karena siapa dapat makan dan bersukacita tanpa Dia?"

Simbol renungan dan pencarian makna

Ayat Pengkhotbah 2:25 mengingatkan kita pada sebuah realitas mendasar mengenai kehidupan manusia. Dalam segala upaya, pencarian, dan kesibukan kita di dunia ini, ada satu pertanyaan esensial yang diajukan: "Karena siapa dapat makan dan bersukacita tanpa Dia?" Pertanyaan retoris ini bukanlah ungkapan ketidakberdayaan, melainkan sebuah penekanan kuat pada sumber kebahagiaan dan kepuasan sejati yang seringkali terlupakan dalam hiruk pikuk kehidupan modern.

Dalam dunia yang didorong oleh pencapaian materi, kesuksesan karier, dan kesenangan sesaat, mudah sekali kita terperangkap dalam siklus yang tak berujung untuk mencari kebahagiaan di luar diri kita sendiri, atau lebih tepatnya, di luar Pencipta. Kita makan, bekerja keras, berlibur, membeli barang-barang baru, dan melakukan berbagai aktivitas lain dengan harapan mendapatkan kepuasan. Namun, seringkali kebahagiaan yang dirasakan bersifat sementara dan dangkal. Ketika satu keinginan terpenuhi, muncul keinginan lain, menciptakan jurang kepuasan yang terus menganga.

Pengkhotbah, melalui pengalaman hidupnya yang luas dan penuh perenungan, menyadari bahwa semua usaha manusia di bawah matahari, tanpa landasan Ilahi, pada akhirnya adalah kesia-siaan. "Makan" dalam ayat ini dapat diartikan sebagai memenuhi kebutuhan fisik dan materi, sementara "bersukacita" merujuk pada kebahagiaan emosional dan spiritual. Keduanya adalah aspek penting dari kehidupan manusia yang sehat dan memuaskan. Namun, ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa kedua hal tersebut tidak akan pernah memberikan kepuasan yang otentik dan langgeng jika terlepas dari "Dia" – yaitu, Tuhan.

Ketika kita merenungkan ayat ini, kita diajak untuk mengalihkan pandangan dari pencarian duniawi semata dan mengarahkannya kepada Sumber segala kebaikan. Tuhan adalah Pencipta kita, dan Dia mengetahui kebutuhan terdalam kita, bahkan yang seringkali kita sendiri tidak sadari. Kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam akumulasi harta benda atau pengalaman eksternal, melainkan dalam hubungan yang mendalam dengan Tuhan. Ketika hidup kita berpusat pada-Nya, tindakan-tindakan seperti makan dan bersukacita akan mendapatkan makna yang lebih dalam. Makanan menjadi karunia, pekerjaan menjadi sarana untuk melayani, dan setiap momen kehidupan menjadi kesempatan untuk mengucap syukur.

Ayat Pengkhotbah 2:25 bukan sekadar larangan untuk menikmati hidup atau mencari kesenangan. Sebaliknya, ini adalah panduan untuk menemukan sumber kebahagiaan yang sesungguhnya. Ini adalah undangan untuk menyelaraskan hidup kita dengan kehendak-Nya, mengakui bahwa setiap berkat, setiap anugerah, berasal dari-Nya. Tanpa pengakuan dan ketergantungan pada Dia, upaya kita untuk makan dan bersukacita akan tetap terasa hampa, seperti mengejar angin. Dengan menjadikan Dia sebagai pusat hidup kita, kita dapat mengalami sukacita yang melimpah dan abadi, yang tidak bergantung pada keadaan duniawi.