Dalam Pengkhotbah pasal 2, Sang Pengkhotbah merenungkan berbagai aspek kehidupan dan mencari makna di balik setiap usaha manusia. Ayat ketujuh secara spesifik menyoroti pencapaian materi dan kepemilikan pribadi yang ia raih. Ia tidak hanya memiliki harta benda, tetapi juga sumber daya manusia seperti budak laki-laki dan perempuan, serta aset berupa ternak yang melimpah. Kuantitas ternaknya bahkan melebihi siapapun yang ada di Yerusalem sebelum masanya. Ini menunjukkan tingkat keberhasilan dan kemakmuran yang luar biasa, setidaknya dari sudut pandang duniawi.
Pencapaian ini bukan datang begitu saja, melainkan melalui usaha, kecerdasan, dan mungkin juga kesempatan. Sang Pengkhotbah, yang sering diidentifikasi sebagai Raja Salomo, memiliki segala kemudahan dan sumber daya untuk membangun kerajaan dan kekayaannya. Ayat ini mengungkapkan sebuah pencapaian yang monumental dalam hal pengumpulan kekayaan dan kepemilikan. Ini adalah gambaran yang sangat konkret tentang kesuksesan materi yang seringkali menjadi tolok ukur kebahagiaan dan keberhasilan dalam banyak budaya.
Namun, konteks Pengkhotbah secara keseluruhan adalah pencarian makna yang lebih dalam daripada sekadar kesenangan dan pencapaian duniawi. Ayat ini harus dibaca bersama ayat-ayat lain dalam pasal tersebut dan di seluruh kitab Pengkhotbah. Sang Pengkhotbah tidak hanya berhenti pada deskripsi kekayaannya, tetapi ia menggunakan ini sebagai titik tolak untuk mengeksplorasi apakah semua ini memberikan kebahagiaan yang abadi. Ia mengalami kekayaan, membangun proyek-proyek besar, menikmati hiburan, dan memperoleh segala yang diinginkannya. Akan tetapi, ia juga menemukan bahwa semua itu seringkali terasa "kesia-siaan dan perkejaran angin" (Pengkhotbah 2:11).
Ayat Pengkhotbah 2:7 ini mengingatkan kita bahwa memiliki banyak hal dan mencapai kesuksesan materi adalah bagian dari pengalaman manusia yang sah. Tuhan mengizinkan manusia untuk menikmati berkat-berkat duniawi dan bekerja keras untuk memperolehnya. Namun, kesuksesan materi saja tidak menjamin kepuasan jiwa. Kebahagiaan sejati dan makna hidup seringkali ditemukan di luar batas-batas kepemilikan dan pencapaian duniawi semata. Ini mendorong kita untuk merenungkan tujuan kita, bagaimana kita menggunakan sumber daya kita, dan di mana kita menempatkan harapan dan nilai-nilai kita yang terdalam.
Dalam konteks modern, ayat ini tetap relevan. Kita hidup di dunia yang seringkali menekankan pencapaian materi, kekayaan, dan status. Namun, seperti Sang Pengkhotbah, kita juga perlu mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial: Apakah semua ini cukup? Apa yang tersisa ketika semua harta benda hilang? Pengkhotbah 2:7 memberikan gambaran tentang puncak kesuksesan duniawi, tetapi kisah lengkapnya mengajarkan bahwa kepuasan yang langgeng datang dari sumber yang lain.