Pengkhotbah 2:8 - Harta Duniawi

"Aku mengumpulkan juga bagi diriku perak, emas, dan kepunyaan raja-raja dan daerah-daerah. Aku dari diriku sendiri mencari orang-orang yang dapat menyanyi, baik laki-laki maupun perempuan, dan kesukaan anak-anak manusia: kesenangan banyak perempuan."

Ayat dari Pengkhotbah 2:8 ini mengajak kita merenungkan tentang kesibukan manusia mengejar kekayaan materi dan kesenangan duniawi. Pengkhotbah, yang dikenal sebagai tokoh bijaksana yang telah merasakan berbagai aspek kehidupan, menggambarkan upayanya untuk mengumpulkan harta benda yang melimpah. Ia menyebutkan perak, emas, dan segala kepunyaan raja-raja, yang mewakili puncak kekayaan dan kekuasaan materi di zamannya. Tidak hanya itu, ia juga mencari kesenangan dalam seni, seperti mengumpulkan penyanyi dan penari, serta menikmati berbagai macam hiburan yang ditawarkan oleh dunia.

Dalam konteks modern, ayat ini masih sangat relevan. Banyak dari kita menghabiskan sebagian besar waktu dan energi untuk bekerja keras, menabung, berinvestasi, dan mencari berbagai cara untuk meningkatkan aset finansial. Kita mendambakan rumah yang lebih besar, mobil yang lebih mewah, liburan yang eksotis, dan segala sesuatu yang dapat memberikan kenyamanan serta status sosial. Terkadang, pencarian ini bisa menjadi begitu intens, sehingga melupakan aspek-aspek kehidupan yang lebih mendalam dan bermakna.

Pengkhotbah tidak hanya berbicara tentang akumulasi benda mati, tetapi juga tentang "kesukaan anak-anak manusia" dan "kesenangan banyak perempuan". Ini mengacu pada berbagai bentuk hiburan, pencarian status, dan kepuasan indrawi. Di era digital ini, kita disajikan dengan berbagai macam kesenangan melalui media sosial, hiburan digital, dan gaya hidup konsumtif. Semuanya dirancang untuk menarik perhatian kita dan membuat kita terus-menerus mencari kepuasan sesaat.

Namun, inti dari ajaran Pengkhotbah bukanlah untuk melarang kita menikmati berkat yang diberikan Tuhan, tetapi untuk mengingatkan kita akan sifat sementara dari semua hal duniawi. Kekayaan materi, kesenangan indrawi, dan status sosial, meskipun dapat memberikan kebahagiaan sementara, tidak akan pernah mampu memberikan kepuasan abadi atau makna sejati dalam hidup. Pengkhotbah sendiri akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa segala sesuatu adalah "kesia-siaan" jika tidak berakar pada hubungan dengan Pencipta.

Merenungkan Pengkhotbah 2:8 seharusnya mendorong kita untuk meninjau kembali prioritas kita. Apakah pencarian kita akan harta benda dan kesenangan duniawi telah mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang lebih kekal? Apakah kita telah menemukan keseimbangan antara bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan mencari sumber kebahagiaan yang lebih dalam? Ayat ini menjadi pengingat penting bahwa meskipun mengumpulkan harta dan menikmati hidup adalah bagian dari pengalaman manusia, pencarian tanpa akhir untuk kepuasan duniawi pada akhirnya akan terasa hampa. Kebijaksanaan sejati terletak pada kemampuan untuk menemukan makna dan sukacita yang melampaui kepemilikan materi dan kesenangan sesaat.