"Lalu berseru-shurulah orang Efraim kepada Gideon, katanya: 'Mengapakah engkau berbuat begini kepada kami, dengan tidak memanggil kami, ketika engkau pergi berperang melawan Midian?' Dan mereka sangat menyesalkannya."
Simbol persatuan dan tujuan bersama di bawah kepemimpinan.
Ayat Hakim-Hakim 8:1 mencatat momen penting dalam kisah Gideon. Setelah kemenangan besar melawan bangsa Midian, suku Efraim merasa tersinggung karena tidak dilibatkan sejak awal dalam pertempuran. Mereka berseru kepada Gideon, mengungkapkan rasa kecewa dan ketidakpuasan mereka. Reaksi suku Efraim ini menunjukkan sisi manusiawi yang sering kali muncul dalam situasi keberhasilan dan kepemimpinan. Ketika kemenangan diraih, ada kecenderungan untuk merasa tidak diikutsertakan jika sebelumnya tidak dilibatkan.
Namun, respons Gideon terhadap keluhan suku Efraim adalah kunci dari ayat ini. Alih-alih bersikap defensif atau mengabaikan, Gideon memilih untuk meredakan ketegangan dengan cara yang bijak dan penuh hormat. Ia mengkonfrontasi mereka dengan pertanyaan yang cerdas, "Bukankah buah sisa pemetikan Efraim lebih baik dari pada pohon anggur Abiezer?" (Hakim-Hakim 8:2). Pernyataan ini secara halus mengingatkan mereka akan kontribusi yang telah diberikan suku Efraim dalam tahap-tahap akhir pertempuran, serta pentingnya menjaga persatuan. Gideon tidak membiarkan ketidakpuasan berkembang menjadi perpecahan.
Kisah ini mengajarkan beberapa pelajaran berharga. Pertama, pentingnya komunikasi dan pengakuan. Gideon memahami bahwa setiap kelompok memiliki peran dan perlu merasa dihargai. Meskipun mungkin ada alasan strategis mengapa suku Efraim tidak dipanggil di awal, rasa mereka harus diakui dan diatasi. Kedua, pelajaran tentang kerendahan hati dalam kepemimpinan. Gideon, meskipun menjadi pahlawan bangsa, tetap bersedia menjelaskan dan meredakan ketegangan, menunjukkan bahwa keberhasilan sejati tidak hanya tentang kemenangan fisik, tetapi juga tentang menjaga keharmonisan komunitas.
Ketegangan antara Gideon dan suku Efraim juga menyoroti realitas perselisihan dan perbedaan pendapat yang bisa muncul, bahkan di antara mereka yang memiliki tujuan yang sama. Dalam konteks spiritual, ini mengingatkan kita bahwa gereja atau komunitas iman pun tidak luput dari potensi konflik. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Gideon, cara kita menanggapi keluhan dan perbedaan pendapat sangat menentukan. Dengan kata-kata yang bijaksana, empati, dan pengakuan atas kontribusi orang lain, perselisihan dapat diatasi dan persatuan dapat dipulihkan.
Ayat Hakim-Hakim 8:1, diikuti dengan respons Gideon, menjadi teladan tentang bagaimana menghadapi tantangan interpersonal dan mempertahankan integritas kepemimpinan. Ini adalah pengingat bahwa setelah setiap perjuangan, ada tahap konsolidasi yang membutuhkan kebijaksanaan, kesabaran, dan komitmen untuk menjaga semua pihak merasa dihargai dan bersatu demi tujuan yang lebih besar.