Pengkhotbah 7:22 adalah sebuah pernyataan yang gamblang dan jujur tentang kondisi manusia. Ayat ini dengan tegas mengakui bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki kecenderungan untuk berbuat salah atau berdosa. Pernyataan ini bukanlah sebuah vonis final, melainkan sebuah pengamatan mendalam terhadap realitas kehidupan manusia di dunia. Mengapa demikian? Apa yang membuat manusia begitu rentan terhadap kesalahan dan dosa?
Sejak awal mula penciptaan, manusia telah diberikan kehendak bebas. Kehendak bebas ini adalah anugerah yang luar biasa, memungkinkan manusia untuk memilih, mencintai, dan bertumbuh. Namun, kehendak bebas juga membuka pintu bagi kemungkinan untuk menyimpang dari jalan yang benar. Keinginan, ambisi, emosi, dan kerentanan diri dapat saling bertautan dan mendorong seseorang untuk bertindak di luar batas-batas kebaikan dan kebenaran.
Ayat ini tidak menyiratkan bahwa manusia secara inheren jahat, tetapi lebih kepada bahwa manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan yang membuatnya sulit untuk selalu berbuat benar. Dosa bukanlah sekadar tindakan pemberontakan yang disengaja, tetapi juga bisa berupa kegagalan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan, atau tersandung oleh godaan yang tak terhindarkan.
Selain sifat dasar yang tidak sempurna, lingkungan tempat kita dibesarkan dan pengalaman hidup yang kita jalani juga memainkan peran penting dalam membentuk perilaku kita. Paparan terhadap contoh-contoh negatif, tekanan sosial, atau trauma masa lalu dapat mengikis pertahanan moral seseorang dan membuat mereka lebih mudah tergelincir ke dalam dosa.
Kita hidup dalam dunia yang kompleks, di mana keputusan seringkali tidak hitam putih. Seringkali, kita dihadapkan pada dilema moral di mana pilihan yang "terbaik" pun masih memiliki konsekuensi negatif. Pengkhotbah menyadari bahwa dalam kerumitan ini, sangatlah wajar jika manusia terkadang membuat kesalahan.
Meskipun mengakui ketidaksempurnaan manusia, ayat ini tidak mengajarkan kepasrahan total terhadap dosa. Sebaliknya, kesadaran akan kerentanan ini seharusnya mendorong kita untuk lebih berhati-hati, introspektif, dan selalu mencari bimbingan yang lebih tinggi. Pengakuan bahwa "tiada manusia yang benar, yang tidak berbuat dosa" membuka jalan bagi kerendahan hati.
Kerendahan hati inilah yang menjadi fondasi penting untuk pertumbuhan spiritual. Ketika kita mengakui kesalahan kita, kita menjadi lebih terbuka untuk belajar, memperbaiki diri, dan mencari pengampunan. Proses pertobatan, yaitu berbalik dari jalan yang salah dan kembali ke jalan yang benar, adalah aspek krusial dalam perjalanan spiritual setiap individu. Ayat Pengkhotbah 7:22 bukanlah alasan untuk berpuas diri dalam dosa, melainkan sebuah panggilan untuk lebih sadar, lebih waspada, dan lebih mengandalkan kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri untuk hidup dalam kebenaran.