Ayat Pengkhotbah 9:2 menyajikan sebuah realitas mendasar yang seringkali kita hindari atau kesampingkan: kesamaan akhir kehidupan antara manusia dan binatang. Pada pandangan pertama, pernyataan ini bisa terasa mengejutkan, bahkan menakutkan. Pengkhotbah, yang dikenal dengan perenungannya tentang makna hidup di bawah matahari, kembali menyoroti fana dan ketidakpastian eksistensi kita. Namun, di balik kesamaan akhir tersebut, tersimpan pelajaran berharga tentang bagaimana kita menjalani hidup saat ini.
Poin krusial dalam ayat ini adalah bahwa baik manusia maupun binatang memiliki akhir yang sama: kematian. Keduanya berbagi "satu napas," metafora yang menggambarkan kehidupan itu sendiri. Kehidupan, dalam esensinya, adalah anugerah yang dibagikan oleh semua makhluk hidup. Manusia, dengan segala kecerdasan, ambisi, dan kapasitasnya untuk merasakan emosi yang kompleks, tidak memiliki kekebalan abadi terhadap kematian. Pada momen terakhir, semua kelebihan duniawi, status sosial, kekayaan, atau pengetahuan yang kita miliki, tidak dapat menghalangi panggilan alam semesta yang universal ini.
Simbol keseimbangan dan siklus kehidupan.
Sifat "sia-sia" yang disebutkan Pengkhotbah bukanlah ajakan untuk putus asa atau mengabaikan kehidupan. Sebaliknya, ini adalah pengingat akan terbatasnya nilai segala sesuatu yang bersifat sementara jika tidak diimbangi dengan pencarian makna yang lebih dalam. Jika semua pada akhirnya kembali ke debu, maka apa yang seharusnya menjadi fokus utama kita? Pengkhotbah seringkali mengarah pada kebijaksanaan, keadilan, dan persekutuan dengan Sang Pencipta sebagai sumber makna yang abadi dan tidak sia-sia.
Memahami kesamaan akhir ini seharusnya mendorong kita untuk lebih menghargai saat ini. Alih-alih terbebani oleh kekhawatiran tentang masa depan yang tidak pasti atau penyesalan atas masa lalu, kita dapat memilih untuk hidup dengan penuh kesadaran dan syukur. Kebijaksanaan sejati bukan hanya tentang mengumpulkan pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana menerapkan pengetahuan itu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ini berarti melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya, mencintai dan peduli terhadap sesama, mencari keadilan, dan merenungkan hal-hal yang kekal.
Dalam ketidakpastian hidup dan kepastian kematian, kita diajak untuk menemukan kedamaian. Ini bukan kedamaian yang lahir dari penolakan terhadap realitas, melainkan kedamaian yang timbul dari penerimaan dan fokus pada apa yang benar-benar penting. Pengkhotbah 9:2, meskipun terdengar suram, sebenarnya merupakan panggilan untuk hidup dengan lebih bijaksana, lebih penuh syukur, dan lebih bermakna, mengingat betapa singkat dan berharganya setiap napas yang kita miliki.