"Karena kamu tahu bahwa orang-orang mati tidak tahu apa-apa, dan mereka tidak lagi mendapat upah, karena ingatan mereka dilupakan. Cinta mereka, benci mereka, dan iri hati mereka sudah lama hilang. Mereka tidak lagi mendapat bagian dalam apa pun yang terjadi di bawah matahari."
Ayat dari Pengkhotbah 9:6 menyajikan sebuah perspektif yang mungkin terasa suram, namun sesungguhnya penuh kedalaman makna tentang hakikat kehidupan dan kematian. Frasa kunci "orang-orang mati tidak tahu apa-apa" dan "tidak lagi mendapat upah, karena ingatan mereka dilupakan" menggambarkan sebuah ketiadaan kesadaran dan pengakuan setelah kematian. Ini bukanlah tentang hukuman atau pahala di alam lain, melainkan sebuah pernyataan realitas fana manusia dalam konteks duniawi.
Ketika kita berbicara tentang "upah", dalam konteks ini merujuk pada hasil dari usaha, perjuangan, dan pencapaian yang dilakukan semasa hidup. Pengkhotbah menekankan bahwa semua itu berakhir ketika kehidupan berhenti. Pengaruh, kenangan, bahkan kehebatan yang pernah dicapai, semuanya akan memudar seiring waktu. Ini adalah pengingat bahwa eksistensi kita di dunia memiliki batas, dan segala sesuatu yang kita bangun atau capai pada akhirnya akan diserahkan kepada generasi berikutnya, atau terlupakan sama sekali.
Lebih jauh lagi, ayat ini menyebutkan bahwa emosi yang begitu kompleks seperti cinta, benci, dan iri hati, yang sering kali menjadi pendorong tindakan manusia, juga akan sirna bersama kematian. Ini menyoroti bahwa esensi dari pengalaman manusia, terutama yang berkaitan dengan hubungan antar sesama dan perjuangan batin, sepenuhnya terikat pada kehidupan yang sedang dijalani. Ketika kehidupan berakhir, begitu pula kemampuan untuk merasakan atau memengaruhi hal-hal tersebut. Tidak ada lagi "bagian dalam apa pun yang terjadi di bawah matahari".
Memahami Pengkhotbah 9:6 bukan berarti mengajak pada nihilisme atau keputusasaan. Sebaliknya, ayat ini dapat menjadi panggilan untuk menghargai hidup itu sendiri. Jika kesadaran dan dampak kita terbatas pada masa hidup kita, maka penting untuk memaksimalkan waktu yang diberikan. Ini adalah undangan untuk hidup dengan penuh kesadaran, untuk merasakan cinta, memberikan kebaikan, dan menghadapi tantangan dengan keberanian, karena inilah momen kita untuk mengalami dan memberi makna.
Bagi mereka yang beriman, ayat ini juga dapat dilihat dalam bingkai pandangan yang lebih luas. Meskipun duniawi berakhir, pengkhotbah sering kali merujuk pada hikmat ilahi dan rencana Tuhan yang lebih besar. Namun, dalam konteks ayat spesifik ini, penekanan utamanya adalah pada kondisi manusia yang fana dan pengalaman hidup di bumi. Ini mendorong kita untuk tidak terlalu terpaku pada pencarian kekayaan abadi atau pengakuan duniawi yang pada akhirnya akan lenyap, melainkan untuk menemukan kepuasan dan tujuan dalam momen-momen berharga yang kita miliki saat ini.
Mengintegrasikan pemahaman ini ke dalam kehidupan sehari-hari berarti menjalani setiap hari dengan kesadaran akan kefanaan, namun juga dengan semangat untuk memberi arti pada setiap detik. Ini adalah pengingat yang kuat untuk menanamkan kebaikan, memupuk hubungan yang tulus, dan mengejar apa yang benar-benar berharga, karena inilah satu-satunya kesempatan kita untuk melakukannya.