"Wah, kota yang dahulu ramai dihuni orang, kini duduk seorang diri! Ia yang dahulu besar di antara bangsa-bangsa dan agung di antara provinsi-provinsi, kini telah menjadi seperti seorang janda."
Kitab Ratapan menggambarkan kesedihan mendalam dan ratapan atas kehancuran kota suci Yerusalem dan Bait Suci oleh bangsa Babel. Pasal pertama buku ini menampilkan personifikasi Yerusalem sebagai seorang wanita yang ditinggalkan, dijauhi, dan dilanda penderitaan yang luar biasa. Ayat pembuka tersebut dengan gamblang menggarisbawahi transformasi drastis yang dialami kota yang dulunya megah dan dipenuhi kehidupan. Dari pusat keagamaan dan politik yang berpengaruh, Yerusalem kini teronggok dalam kesunyian dan kesepian, seperti seorang janda yang kehilangan segala-galanya.
Penulis, yang diyakini sebagai nabi Yeremia, menggunakan bahasa yang sarat emosi untuk menggambarkan kesedihan mendalam yang dirasakan. Ia meratapi hilangnya kemuliaan Yerusalem, ketidakhadiran para peziarah yang datang dengan setia, dan kepedihan para penduduknya yang tercerai-berai dan menderita. Gambaran tentang "jalan-jalan Sion yang meratap" menjadi simbol dari kehancuran total yang menimpa kota tersebut. Setiap jengkal tanah, setiap bangunan, seolah-olah ikut merasakan kesedihan dan penderitaan yang melanda.
Ratapan ini bukan sekadar ungkapan kesedihan pribadi, tetapi juga pengakuan atas dosa-dosa bangsa Israel yang menjadi penyebab malapetaka tersebut. Penulis mengakui bahwa penderitaan ini adalah akibat dari ketidaktaatan mereka terhadap Tuhan, dari penolakan mereka terhadap peringatan para nabi. Kesalahan masa lalu kini harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Mereka yang dulu memegang teguh hukum Tuhan kini harus merasakan beratnya murka ilahi yang tercurah atas mereka.
Konteks historis yang menyertai ratapan ini sangat penting. Penaklukan Yerusalem oleh Nebukadnezar, penghancuran Bait Suci, dan pembuangan sebagian besar penduduk ke Babel merupakan peristiwa traumatis dalam sejarah Israel. Kitab Ratapan menjadi saksi bisu atas kedalaman luka dan kepedihan yang dirasakan oleh umat Tuhan pada masa itu. Namun, di tengah kesedihan yang mendalam, terselip pula harapan akan pemulihan. Janji Tuhan untuk tidak meninggalkan umat-Nya sepenuhnya menjadi pelita kecil di tengah kegelapan yang mencekam.
Pasal ini mengajarkan kita tentang konsekuensi dari dosa dan ketidaktaatan, tetapi juga tentang keadilan dan rahmat Tuhan. Meskipun hukuman itu nyata, kasih setia Tuhan tetap ada bagi mereka yang bertobat dan kembali kepada-Nya. Ratapan 1 mengingatkan kita bahwa bahkan dalam kehancuran yang paling kelam sekalipun, ada potensi untuk bangkit kembali, melalui pemulihan dan pemeliharaan Tuhan yang tak pernah berkesudahan. Keseluruhan kitab ini berfungsi sebagai pengingat kuat akan pentingnya ketaatan dan hubungan yang tulus dengan Sang Pencipta.