"Lihatlah, ya TUHAN, pandanglah siapa yang Kaulakukan demikian! Apakah perempuan patut diperlakukan demikian rupa? Apakah imam dan nabi dibunuh di tempat kudus TUHAN?"
Ratapan 2:20 adalah sebuah seruan yang mendalam, sebuah pekik jiwa yang teriris oleh tragedi yang luar biasa. Ayat ini bukan sekadar kata-kata yang tertulis, melainkan cerminan dari rasa sakit, kebingungan, dan keputusasaan yang melanda umat Allah saat menghadapi kehancuran dan penderitaan yang tak terbayangkan. Dalam konteks kitab Ratapan, ayat ini muncul di tengah gambaran kehancuran Yerusalem dan Bait Suci, sebuah peristiwa yang mengguncang fondasi keyakinan dan identitas bangsa Israel.
Sang penulis, yang dalam ratapannya mencurahkan seluruh isi hatinya, memohon kepada Tuhan untuk melihat dan memahami kengerian yang terjadi. Pertanyaan retoris yang dilontarkan—"Apakah perempuan patut diperlakukan demikian rupa? Apakah imam dan nabi dibunuh di tempat kudus TUHAN?"—menekankan betapa absurd dan melampaui batasnya kekejaman yang dialami. Kekerasan terhadap perempuan, yang seharusnya dilindungi dan dihormati, menunjukkan degradasi moral yang parah. Lebih mengerikan lagi adalah pembunuhan terhadap para imam dan nabi, para pemimpin spiritual yang seharusnya menjadi perantara antara Tuhan dan umat-Nya, di tempat yang paling suci. Hal ini bukan hanya serangan fisik, tetapi juga serangan terhadap esensi spiritual dan identitas keagamaan mereka.
Ayat ini juga menyoroti ketidakadilan yang ekstrem. Dalam situasi perang atau konflik, seringkali ada aturan dan norma yang, meskipun dilanggar, tetap diakui. Namun, apa yang digambarkan dalam Ratapan 2:20 melampaui batas-batas kekejaman yang dapat dimengerti. Tindakan tersebut menunjukkan penolakan total terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kesucian ilahi. Sang penulis meragukan bahwa perlakuan seperti itu adalah sesuatu yang pantas atau dapat dibenarkan di hadapan Tuhan. Ini adalah pengakuan akan kejahatan yang begitu mengerikan sehingga sulit untuk diproses secara rasional.
Di tengah kepedihan ini, ada sebuah harapan yang tersirat. Dengan memohon Tuhan untuk "melihat" dan "memperhatikan," penulis sedang mengingatkan Tuhan akan janji-Nya dan keadilan-Nya. Ini adalah bentuk doa yang penuh keyakinan bahwa Tuhan mendengar ratapan umat-Nya dan pada akhirnya akan bertindak. Ratapan 2:20 menjadi kesaksian akan penderitaan yang dialami, sekaligus menjadi pengingat akan kekuatan iman untuk mencari keadilan bahkan di saat-saat tergelap. Ayat ini relevan hingga kini, mengingatkan kita untuk bersuara ketika menyaksikan ketidakadilan dan kekejaman, serta untuk terus berharap pada kebaikan dan keadilan ilahi.