Ayat ini dari Kitab Ratapan sering kali terasa begitu berat dan memilukan. Ia menggema dari kedalaman penderitaan, sebuah ungkapan dari hati yang hancur lebur. Perkataan "Hilanglah kebinasaanku dan harapanku dari TUHAN!" bukan sekadar keluhan biasa, melainkan teriakan jiwa yang merasa ditinggalkan, yang melihat kehancuran di sekelilingnya dan tak lagi mampu melihat secercah cahaya harapan. Dalam konteks sejarah bangsa Israel, ayat ini kemungkinan besar mencerminkan rasa putus asa yang luar biasa setelah peristiwa penghancuran Yerusalem dan pembuangan ke Babel. Semua yang mereka cintai, semua yang menjadi identitas mereka, telah lenyap dalam sekejap mata.
Ketika kita merenungkan Ratapan 3:18, kita diajak untuk merasakan kedalaman kepedihan yang dialami oleh penulisnya. Rasanya seperti berdiri di reruntuhan, dikelilingi oleh abu dan puing-puing, tanpa tahu harus melangkah ke mana. Harapan yang tadinya seperti mercusuar yang menuntun, kini padam, meninggalkan kegelapan yang pekat. Kehilangan seringkali datang dengan cara yang tak terduga, merampas kenyamanan dan keamanan yang kita anggap pasti. Dalam situasi seperti itu, sungguh manusiawi untuk merasa bahwa segala sesuatu telah berakhir, bahwa tidak ada lagi yang tersisa selain kehancuran.
Namun, Kitab Ratapan tidak berhenti pada ratapan semata. Meskipun ayat ini merupakan puncak dari kesedihan, bagian selanjutnya dari kitab ini justru menunjukkan pergeseran yang luar biasa. Sang penulis, meskipun masih dalam kepedihan, perlahan mulai mencari jejak-jejak kehadiran Tuhan di tengah puing-puing itu. Ada kesadaran bahwa, meskipun rasanya harapan telah hilang, kesetiaan Tuhan tidak pernah berakhir. Kasih-Nya tidak pernah habis. Kebaikan-Nya selalu baru setiap pagi. Ini adalah titik balik yang krusial: mengakui kedalaman kepedihan, namun menolak untuk terperangkap di dalamnya selamanya.
Relevansi Ratapan 3:18 bagi kehidupan kita saat ini sangatlah besar. Kita semua pasti pernah mengalami masa-masa di mana harapan terasa begitu jauh, di mana kesulitan menumpuk dan mendatangkan keputusasaan. Mungkin itu kehilangan orang terkasih, kegagalan dalam karier, masalah kesehatan yang berat, atau sekadar rasa kesepian yang mendalam. Di saat-saat seperti itulah, kata-kata dalam ayat ini bisa terasa begitu akrab. Namun, di balik pengakuan akan kehilangan harapan, terselip sebuah kekuatan yang luar biasa: kejujuran dan kerentanan.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa tidak apa-apa untuk merasa sedih, tidak apa-apa untuk merasa putus asa. Mengakui perasaan tersebut adalah langkah pertama untuk bisa melaluinya. Kemudian, seperti penulis Ratapan, kita bisa mulai mencari kembali cahaya, sekecil apa pun itu. Harapan tidak selalu datang dalam bentuk solusi besar yang instan, melainkan bisa ditemukan dalam hal-hal kecil: kekuatan dari komunitas, kata-kata penyemangat dari teman, atau bahkan sekadar kesadaran bahwa kita tidak sendirian dalam perjuangan ini. Bahkan ketika rasanya "harapanku dari Tuhan hilang", justru di situlah kita dipanggil untuk mencari-Nya kembali, untuk mengingatkan diri akan sifat-Nya yang penuh kasih dan setia. Merenungkan Ratapan 3:18 adalah undangan untuk jujur dengan kepedihan kita, namun juga sebuah pengingat kuat bahwa di dalam kesetiaan-Nya yang abadi, ada always something to hold onto. Baca lebih lanjut tentang Ratapan 3:18.