Kehidupan dan Aturan

Ulangan 14:3 - Makhluk Halal untuk Dimakan

"Janganlah kamu memakan sesuatu yang jijik."

Ayat Ulangan 14:3 ini merupakan bagian dari serangkaian peraturan yang diberikan oleh Tuhan kepada umat Israel mengenai makanan yang boleh dan tidak boleh mereka konsumsi. Perintah ini, meskipun singkat, memiliki implikasi yang mendalam dan mencakup aspek-aspek kebersihan, kesehatan, serta pembedaan umat Israel dari bangsa-bangsa lain di sekitar mereka. Kata "jijik" dalam konteks ini merujuk pada hewan-hewan yang dianggap haram atau najis, yang dilarang untuk dimakan.

Peraturan mengenai makanan halal dan haram ini tercatat dalam beberapa bagian Alkitab Ibrani, khususnya dalam kitab Imamat dan Ulangan. Tujuannya multifaset. Pertama, adalah untuk menjaga kesehatan fisik umat. Banyak hewan yang dilarang, seperti babi, memiliki kecenderungan untuk membawa parasit dan penyakit yang bisa berbahaya jika dikonsumsi. Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, menetapkan standar kebersihan yang tinggi demi kesejahteraan umat-Nya.

Kedua, peraturan ini berfungsi sebagai penanda identitas bagi umat Israel. Dengan memiliki seperangkat aturan makanan yang berbeda dari bangsa-bangsa di sekeliling mereka, umat Israel dipisahkan dan dikuduskan sebagai umat perjanjian Tuhan. Ini membantu mereka untuk tidak berasimilasi dengan kebiasaan kafir dan senantiasa mengingat bahwa mereka adalah umat yang berbeda, yang hidup di bawah pimpinan dan standar Tuhan. Memakan makanan yang berbeda adalah cara visual dan praktis untuk menegaskan identitas keagamaan mereka.

Ayat Ulangan 14:3 secara spesifik menekankan larangan memakan sesuatu yang "jijik." Implikasi dari kata ini meluas lebih dari sekadar rasa tidak suka. Ini merujuk pada hewan-hewan yang secara spesifik disebutkan dalam peraturan makanan Musa sebagai tidak halal. Kriteria umum untuk hewan darat yang halal adalah hewan yang berkuku belah dan memamah biak. Hewan yang tidak memenuhi kedua kriteria ini dianggap haram atau jijik. Demikian pula, ada aturan spesifik untuk ikan (memiliki sirip dan sisik) dan burung.

Penting untuk dipahami bahwa aturan makanan ini awalnya diberikan kepada bangsa Israel kuno di bawah perjanjian Musa. Dengan kedatangan Yesus Kristus dan permulaan perjanjian yang baru, makna dan penerapan peraturan ini mengalami penafsiran ulang bagi orang percaya non-Yahudi. Rasul Paulus dalam Perjanjian Baru menjelaskan bahwa batasan makanan yang dulu diberlakukan kini tidak lagi menjadi hambatan bagi orang percaya di bawah kasih karunia Kristus. Namun, pemahaman akan dasar-dasar perintah ini tetap penting untuk mengapresiasi bagaimana Tuhan memimpin umat-Nya, baik di masa lalu maupun di masa kini.

Secara spiritual, larangan memakan yang jijik dapat juga dilihat sebagai analogi dari penolakan terhadap segala sesuatu yang dianggap "najis" atau tidak sesuai dengan standar kesucian Tuhan dalam kehidupan rohani. Umat percaya dipanggil untuk menjaga kemurnian hati dan pikiran, menjauhi dosa dan segala sesuatu yang dapat mencemari hubungan mereka dengan Tuhan. Dengan demikian, Ulangan 14:3 mengingatkan kita akan pentingnya kesucian dan kehidupan yang terpisah dari hal-hal yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.

Meski konteks hukum Taurat bersifat spesifik untuk Israel, prinsip di balik perintah ini tetap relevan. Tuhan peduli terhadap apa yang masuk ke dalam hidup kita, baik secara fisik maupun rohani. Memilih makanan yang sehat dan menghindari hal-hal yang dapat merusak tubuh kita adalah wujud ketaatan dan penghargaan terhadap anugerah tubuh yang Tuhan berikan. Demikian pula, dalam kehidupan rohani, kita dipanggil untuk memilih apa yang membangun iman kita, menjauhkan diri dari pengaruh buruk, dan memuliakan Tuhan dalam segala aspek kehidupan.