"Apabila engkau datang ke negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, dan engkau memilikinya serta menetap di sana, dan berkata: 'Aku mau mengangkat seorang raja atas diriku, seperti bangsa-bangsa lain yang di sekelilingku'."
Ayat Ulangan 17:14 ini merupakan pembuka dari sebuah perikop yang membahas tentang persyaratan dan batasan bagi seorang raja yang akan memimpin bangsa Israel. Setelah bertahun-tahun dipimpin oleh para hakim dan mengalami pengalaman keluar dari perbudakan Mesir, bangsa Israel mulai mendambakan sistem pemerintahan yang lebih stabil dan terstruktur, serupa dengan kerajaan-kerajaan tetangga mereka. Keinginan ini tidak datang dari inisiatif Allah, melainkan dari aspirasi manusia yang ingin meniru cara dunia di sekitar mereka. Allah, dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, memberikan petunjuk-Nya mengenai bagaimana seharusnya seorang pemimpin tertinggi itu bertindak, sembari menunjukkan bahwa konsep kerajaan manusia memiliki keterbatasan dibandingkan dengan kedaulatan ilahi.
Permintaan untuk memiliki seorang raja seperti bangsa lain menandakan adanya keinginan untuk sebuah otoritas terpusat. Namun, Allah menetapkan standar yang sangat tinggi bagi raja tersebut. Raja tidak boleh mengumpulkan kuda dan kereta perang secara berlebihan, tidak boleh mengawini banyak perempuan yang dapat memalingkan hatinya, dan yang terpenting, tidak boleh menimbun emas dan perak. Semuanya itu diarahkan untuk mencegah kekuasaan menjadi absolut dan menjauhkan raja dari kesombongan. Allah menekankan bahwa raja Israel haruslah seorang hamba hukum Taurat, senantiasa membacanya dan hidup sesuai dengannya. Keadilan ilahi bukan hanya tentang hukuman, tetapi juga tentang tata kelola yang benar, yang berpusat pada ketaatan pada firman Tuhan.
Meskipun ayat ini membahas tentang pengangkatan raja, prinsip keadilan yang diajarkan di dalamnya relevan untuk setiap bentuk pemerintahan. Seorang pemimpin, baik itu raja, presiden, gubernur, atau kepala keluarga, seharusnya tidak terdorong oleh keserakahan, keinginan untuk berkuasa tanpa batas, atau pemuasan diri. Sebaliknya, mereka dipanggil untuk memimpin dengan integritas, menjunjung tinggi kebenaran, dan melayani kepentingan rakyatnya. Penekanan pada pembacaan dan ketaatan pada hukum ilahi (dalam konteks modern, ini dapat diterjemahkan sebagai prinsip-prinsip etika dan moral universal, serta konstitusi dan hukum yang adil) adalah fondasi penting untuk memastikan bahwa kekuasaan digunakan demi kebaikan bersama, bukan untuk penindasan. Keadilan ilahi menjadi standar yang mengukur keadilan manusiawi.
Di era modern, di mana bentuk pemerintahan telah beragam, Ulangan 17:14 tetap menjadi pengingat yang kuat. Ia mengajarkan bahwa asal muasal sebuah sistem pemerintahan dan motivasi para pemimpinnya sangatlah krusial. Apakah sistem tersebut diciptakan atas dasar keinginan untuk meniru dunia dan mendapatkan kekuatan, atau atas dasar kerinduan untuk menerapkan tatanan yang adil dan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta? Kita perlu terus mengevaluasi para pemimpin kita dan sistem yang ada, memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan, kerendahan hati, dan ketaatan pada nilai-nilai luhur tetap dijunjung tinggi. Keadilan ilahi adalah sebuah cita-cita yang tak pernah lekang oleh waktu, membimbing kita untuk membangun tatanan yang lebih baik bagi semua.