"Apabila di tengah-tengahmu terdapat seorang, laki-laki atau perempuan, yang berlaku sebagai melakukaně‚´ salah satu kegiatan yang mencemarkan perjanjian TUHAN, Allahmu, dan yang melayani berhala..."
Ayat ini dari Kitab Ulangan menghadirkan sebuah peringatan penting dan mendalam mengenai keabsahan persembahan dan ibadah kepada Tuhan. Dalam konteks sejarah bangsa Israel, umat pilihan Tuhan, ketegasan peraturan ini menegaskan betapa seriusnya Tuhan memandang kesetiaan dan kemurnian penyembahan yang dipersembahkan kepada-Nya. Poin krusial dari Ulangan 17:2 terletak pada penekanan bahwa persembahan yang sah, baik itu korban bakaran, persembahan syukur, atau bentuk ibadah lainnya, haruslah dipersembahkan sesuai dengan perintah dan cara yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Ini bukan sekadar masalah formalitas, melainkan sebuah cerminan dari hubungan yang benar dan tulus antara umat dan Allah.
Firman ini berbicara tentang pentingnya melakukan segala sesuatu dengan benar di hadapan Tuhan. Ketika umat diperintahkan untuk memberikan persembahan, itu adalah sebuah tindakan ketaatan dan pengakuan atas kedaulatan serta kebaikan Tuhan. Namun, ketidaktaatan dalam cara persembahan dapat dianggap sebagai penolakan terhadap otoritas Tuhan itu sendiri. Ulangan 17:2 secara spesifik melarang persembahan dari hewan yang cacat, sakit, atau yang memiliki kekurangan. Hewan yang dipilih haruslah yang terbaik, tanpa cela, sebagai representasi dari pengorbanan yang murni dan tanpa syarat.
Lebih jauh lagi, ayat ini juga menggarisbawahi bahwa persembahan tersebut harus dibawa ke tempat yang telah dipilih Tuhan, yaitu mezbah di kemah pertemuan atau kemudian di Bait Suci. Ini mengajarkan bahwa ada pengaturan ilahi yang harus dihormati. Melakukan persembahan di sembarang tempat atau dengan cara yang tidak diizinkan sama saja dengan tidak menghargai kekudusan Tuhan dan perjanjian yang telah dibuat-Nya. Ada dua konsekuensi utama yang perlu dipahami dari ketidakpatuhan ini: pertama, persembahan itu tidak akan diterima dan dianggap sebagai sesuatu yang menjijikkan di hadapan Tuhan. Kedua, persembahan semacam itu dapat dianggap sebagai tindakan yang mencemarkan perjanjian, yang berarti merusak hubungan kekudusan yang telah terjalin antara Tuhan dan umat-Nya.
Implikasi dari Ulangan 17:2 meluas hingga ke pemahaman kita tentang ibadah modern. Meskipun kita tidak lagi mempersembahkan hewan korban seperti di Perjanjian Lama, prinsip kesungguhan, ketulusan, dan ketaatan dalam beribadah tetap relevan. Ibadah kita hari ini mencakup doa, pujian, persembahan materi, pelayanan, dan hidup yang taat pada firman Tuhan. Semua ini harus dilakukan dengan hati yang benar, motivasi yang murni, dan sesuai dengan ajaran Kristus dan para rasul. Sama seperti Israel dilarang mempersembahkan hewan yang cacat, kita pun dipanggil untuk memberikan yang terbaik dari diri kita kepada Tuhan, tanpa menyisihkan bagian yang tidak layak atau memberikan dengan setengah hati.
Pesan Ulangan 17:2 adalah pengingat bahwa Tuhan melihat hati dan cara kita datang kepada-Nya. Ia menginginkan penyembahan yang tulus, yang lahir dari hubungan yang kudus dan berdasarkan ketaatan pada firman-Nya. Ketika kita mendekati Tuhan dengan segala kerendahan hati, kesungguhan, dan mengikuti tuntunan-Nya, barulah ibadah kita menjadi persembahan yang berkenan dan memperkuat perjanjian kekal yang telah Dia sediakan melalui Yesus Kristus.