Ayat Ulangan 24:3 adalah bagian dari peraturan hukum yang diberikan Musa kepada bangsa Israel di padang gurun, yang tercatat dalam kitab Ulangan. Ayat ini secara spesifik membahas tentang perceraian, yang pada masanya merupakan suatu praktik yang diizinkan dalam kondisi tertentu di kalangan masyarakat Israel. Penting untuk membaca ayat ini dalam konteks hukum Taurat yang lebih luas dan terutama dalam terang ajaran Yesus Kristus mengenai pernikahan dan perceraian.
Peraturan mengenai perceraian ini, termasuk penulisan surat cerai, bertujuan untuk memberikan ketertiban dan perlindungan, meskipun dari perspektif modern bisa tampak kaku. Inti dari ayat ini adalah bahwa jika seorang suami mendapati "sesuatu yang batal" atau "ketidaksusilaan" pada istrinya, ia berhak menceraikannya dengan cara memberikan surat cerai. Kata "sesuatu yang batal" ini telah menjadi objek perdebatan dan penafsiran teologis sepanjang sejarah. Beberapa menafsirkan ini sebagai perbuatan zina atau ketidaksetiaan, sementara yang lain memiliki pandangan yang lebih luas mengenai pelanggaran norma-norma sosial atau keluarga.
Pemberian surat cerai sangat krusial. Surat ini bukan sekadar dokumen pengakuan perceraian, tetapi juga berfungsi sebagai bukti tertulis yang memungkinkan perempuan yang dicerai untuk memiliki kebebasan dan perlindungan hukum. Tanpa surat tersebut, perempuan itu bisa saja dianggap sebagai wanita "haram" dan kesulitan untuk menikah lagi atau mendapatkan hak-haknya di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa meskipun perceraian diizinkan, ada upaya untuk meminimalkan dampak negatifnya bagi pihak perempuan.
Namun, ajaran Perjanjian Baru, khususnya yang disampaikan oleh Yesus dalam Matius 19:3-9 dan Markus 10:2-12, memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kehendak Allah terhadap pernikahan. Yesus menegaskan kembali bahwa sejak semula Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk bersatu dalam pernikahan, dan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Ketika ditanya mengenai alasan Musa mengizinkan perceraian, Yesus menjawab bahwa itu adalah karena "kerasnya hati" manusia, bukan karena itu adalah kehendak awal Allah.
Oleh karena itu, Ulangan 24:3 perlu dipahami sebagai suatu konsesi atau peraturan sementara yang dibuat dalam konteks hukum Musa, yang kemudian diimbangi dan diangkat oleh ajaran Yesus Kristus tentang kesucian dan ketetapan pernikahan. Ayat ini mengajarkan kita tentang kompleksitas hukum dan bagaimana pemahaman kita terhadap kehendak Allah dapat berkembang melalui wahyu yang lebih lengkap, terutama dalam Kristus. Ini menjadi pengingat bahwa meskipun ada peraturan yang memberikan ruang untuk tindakan tertentu, standar ideal Allah jauh lebih tinggi dan berfokus pada kesatuan dan komitmen dalam pernikahan.