"Dan apabila seseorang mendengar perkataan kutuk ini, lalu ia menganggap dirinya aman dengan berkata dalam hatinya: 'Walaupun aku hidup dalam ketegaran hatiku, aku akan dihancurkan bersama orang yang mabuk itu,' tetapi ia tetap merusaknya,"
Ayat Ulangan 29:19 menyajikan sebuah gambaran peringatan yang sangat kuat mengenai bahaya kesombongan rohani dan penolakan terhadap teguran ilahi. Dalam konteks perjanjian antara Tuhan dan bangsa Israel di dataran Moab, ayat ini menyoroti konsekuensi mengerikan yang dapat menimpa individu yang menganggap remeh firman Tuhan, terutama ketika mereka melihat orang lain dihukum. Frasa kunci di sini adalah "menganggap dirinya aman" meskipun hidup dalam "ketegaran hati." Ini menggambarkan sikap hati yang keras kepala, yang menolak untuk belajar dari kesalahan, baik kesalahan diri sendiri maupun kesalahan orang lain.
Nabi Musa sedang menyampaikan hukum-hukum dan perjanjian Tuhan kepada generasi baru Israel, generasi yang akan memasuki Tanah Perjanjian. Musa telah memperingatkan tentang berkat yang akan mereka terima jika taat, dan kutuk yang akan menimpa jika mereka tidak taat. Ulangan 29 secara keseluruhan adalah bagian dari seruan untuk bertobat dan berkomitmen kembali kepada Tuhan. Dalam ayat 19 ini, perhatian diarahkan pada mereka yang tampaknya tidak terpengaruh oleh murka Tuhan yang menimpa orang lain. Mereka mungkin melihat orang lain yang jelas-jelas berdosa dan dihukum, namun alih-alih merasa ngeri dan bertobat, mereka justru merasa aman, seolah-olah ketidaktaatan mereka tidak akan pernah terungkap atau diperhitungkan.
"Walaupun aku hidup dalam ketegaran hatiku," sebuah pernyataan yang menunjukkan kesengajaan dalam menolak kebenaran. Ini bukan ketidaktahuan, melainkan sebuah pilihan sadar untuk tetap keras kepala dan tidak mau diperbaiki. Ketegaran hati ini sering kali disertai dengan penyangkalan terhadap kekuasaan dan keadilan Tuhan. Orang seperti ini mungkin berpikir bahwa mereka dapat terus hidup dalam dosa dan melanggar perintah Tuhan tanpa konsekuensi, terutama jika mereka berhasil menyembunyikan dosa-dosa mereka atau jika hukuman langsung tidak segera terlihat.
Pernyataan "aku akan dihancurkan bersama orang yang mabuk itu" menunjukkan pemikiran yang keliru tentang keadilan Tuhan. "Orang yang mabuk" di sini merujuk pada mereka yang telah dibutakan oleh dosa dan kemurtadan, yang hidup dalam kekacauan dan kesesatan. Alih-alih melihat kehancuran mereka sebagai peringatan, orang yang dimaksud dalam ayat ini melihatnya sebagai sesuatu yang terpisah dari dirinya, sesuatu yang terjadi pada "orang lain" yang lemah. Namun, firman Tuhan dengan tegas menyatakan bahwa sikap ini, yang diakhiri dengan frasa "tetapi ia tetap merusaknya," akan membawa kehancuran yang sama. Tuhan tidak akan terhindarkan dari murka-Nya bagi siapa pun yang menolak untuk berdamai dengan-Nya. Sikap acuh tak acuh terhadap dosa dan kebenaran, serta keengganan untuk mendengar teguran, adalah bentuk perusakan hubungan dengan Tuhan yang pada akhirnya akan berujung pada kehancuran.
Peringatan Ulangan 29:19 tetap sangat relevan bagi kita saat ini. Di era informasi yang luas, kita sering kali dihadapkan pada berita tentang kehancuran, bencana, atau kehancuran moral yang menimpa individu atau kelompok tertentu. Sangat mudah untuk merasa terpisah dari hal-hal tersebut, menganggapnya sebagai masalah orang lain, dan melanjutkan hidup kita seolah-olah tidak ada konsekuensi rohani. Namun, ayat ini mengingatkan kita bahwa hati yang keras kepala dan sikap merasa aman di tengah ketidaktaatan adalah jalan menuju kehancuran.
Kita dipanggil untuk memiliki hati yang peka terhadap suara Tuhan, yang mau belajar dari teguran, dan yang tidak pernah menganggap diri aman dalam ketegaran hati. Ketaatan yang tulus, yang lahir dari kasih dan rasa hormat kepada Tuhan, adalah satu-satunya cara untuk benar-benar aman di hadapan-Nya. Biarlah kita senantiasa memeriksa hati kita, agar kita tidak pernah menjadi seperti orang yang digambarkan dalam Ulangan 29:19, yang pada akhirnya hanya akan merusak diri sendiri.