"Dan malaikat kelima itu menumpahkan pinggan-pinggan-Nya ke atas takhta binatang, dan kerajaan itu menjadi gelap, dan mereka menggigit lidah mereka karena sakit."
Wahyu 16:10 menyajikan gambaran yang sangat mengerikan tentang dampak dari salah satu malapetaka ilahi yang ditimpakan ke bumi. Ayat ini menggambarkan bagaimana malapetaka yang ditumpahkan ke atas "takhta binatang" membawa kegelapan yang mencekam dan penderitaan yang luar biasa bagi para pengikutnya. Ini bukan sekadar kegelapan fisik, melainkan kegelapan spiritual dan kengerian eksistensial yang merasuk hingga ke sanubari.
Kata "takhta binatang" seringkali diinterpretasikan sebagai pusat kekuasaan, sumber otoritas, dan lambang dari perlawanan terhadap pemerintahan Allah. Ketika malapetaka ilahi ini menghantam takhta tersebut, dampaknya langsung terasa dan melumpuhkan. Kegelapan yang terjadi dapat diartikan sebagai hilangnya harapan, kebingungan total, dan ketidakmampuan untuk melihat jalan keluar. Ini adalah kondisi di mana terang kebenaran dan pemahaman lenyap, digantikan oleh keputusasaan yang mendalam.
Lebih lanjut, ayat ini menyebutkan bahwa para pengikut binatang "menggigit lidah mereka karena sakit." Ini adalah gambaran yang sangat kuat tentang penderitaan yang intens. Menggigit lidah adalah respons refleks terhadap rasa sakit yang tak tertahankan, sebuah tindakan untuk meredakan atau bahkan melampiaskan kepedihan yang luar biasa. Ini menunjukkan bahwa dampak dari malapetaka ini tidak hanya melumpuhkan secara fisik atau spiritual, tetapi juga menyebabkan penderitaan emosional dan psikologis yang parah. Mereka mungkin merasakan sakit yang membakar, penyesalan yang mendalam atas pilihan mereka, atau ketakutan yang luar biasa akan apa yang akan datang selanjutnya.
Wahyu 16:10 memberikan peringatan keras tentang konsekuensi dari penolakan terhadap kuasa ilahi dan kesetiaan pada kekuatan yang berlawanan dengan kehendak Tuhan. Kegelapan yang menyelimuti dan rasa sakit yang menggigit lidah adalah metafora yang kuat untuk kehancuran yang akan dialami oleh mereka yang memilih jalan kegelapan dan pemberontakan. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan betapa pentingnya memilih terang dan kebenaran, serta bagaimana kesetiaan pada prinsip-prinsip ilahi adalah benteng terkuat kita dalam menghadapi malapetaka dan penderitaan. Penderitaan yang digambarkan di sini bukanlah hukuman semata, tetapi juga konsekuensi alami dari keputusan yang diambil, sebuah cerminan dari keadaan batin yang hancur ketika berhadapan dengan keadilan ilahi.