"Sebanyak ia telah memuliakan dirinya dan hidup dalam kemewahan, berikanlah kepadanya siksaan dan perkabungan. Sebab ia berkata dalam hatinya: Aku seorang perempuan yang duduk sebagai ratu, aku tidak pernah berkabung dan aku tidak akan pernah mengenal kesedihan."
Ayat Wahyu 18:7 ini memberikan gambaran yang kuat tentang arogansi dan kemewahan Babilon, sebuah simbol yang sering diinterpretasikan sebagai sistem dunia yang menolak Tuhan. Frasa "Sebanyak ia telah memuliakan dirinya dan hidup dalam kemewahan" menunjukkan tingkat kebanggaan diri yang luar biasa dan keterikatan pada kesenangan duniawi. Babilon digambarkan sebagai entitas yang sangat kaya dan berkuasa, yang menikmati segala bentuk kenyamanan dan kesenangan hidup tanpa memikirkan akibatnya atau sumber anugerah ilahi. Dalam perspektif teologis, kemegahan ini sering kali mengarah pada penyembahan diri sendiri dan penolakan terhadap otoritas Tuhan.
Klaim Babilon, "Aku seorang perempuan yang duduk sebagai ratu, aku tidak pernah berkabung dan aku tidak akan pernah mengenal kesedihan," adalah inti dari kesombongan spiritualnya. Ia percaya diri sepenuhnya pada kekuasaannya dan kemampuannya untuk mempertahankan statusnya yang tinggi. Keyakinan ini adalah ilusi yang berbahaya, karena ia mengabaikan realitas bahwa kekuasaan dan kemakmuran duniawi bersifat sementara dan rentan terhadap kehancuran. Keadaan "tidak pernah berkabung" dan "tidak akan pernah mengenal kesedihan" menandakan kegagalan untuk mengakui kerapuhan kehidupan manusia dan kebutuhan akan kerendahan hati di hadapan Yang Mahakuasa.
Namun, ayat ini juga berisi ramalan yang mengerikan: "berikanlah kepadanya siksaan dan perkabungan." Kontras antara kemegahan yang dirasakan dan siksaan yang akan datang sangat tajam. Ini adalah peringatan bagi setiap individu dan sistem yang mengandalkan kekayaan duniawi dan kebanggaan diri. Kejatuhan Babilon, sebagaimana digambarkan dalam Kitab Wahyu, adalah konsekuensi tak terhindarkan dari penolakannya terhadap kebenaran ilahi. Kejatuhan ini bukan hanya sekadar kerugian materi, tetapi juga kesakitan dan kesengsaraan yang mendalam.
Dalam konteks yang lebih luas, Wahyu 18:7 mengajarkan kita tentang bahaya kesombongan dan keterikatan yang berlebihan pada hal-hal duniawi. Ia mengingatkan bahwa kemewahan dan kekuasaan yang dicari tanpa dasar spiritual yang kuat pada akhirnya akan membawa kehancuran. Penting bagi kita untuk memeriksa hati kita, agar tidak jatuh ke dalam perangkap yang sama, yaitu memuliakan diri sendiri dan mengabaikan kedaulatan Tuhan. Sebaliknya, kita dipanggil untuk hidup dalam kerendahan hati, mengakui ketergantungan kita pada Tuhan, dan mencari kekayaan sejati yang tidak dapat dirampas. Kisah Babilon adalah sebuah studi kasus tentang konsekuensi dari kehidupan yang terlepas dari kendali ilahi, sebuah peringatan abadi yang relevan hingga saat ini.