"Dan sisa manusia yang tidak dibunuh oleh malapetaka-malapetaka itu, mereka tidak juga bertobat dari perbuatan tangan mereka: mereka tidak menjauhkan diri dari berhala-berhala, dan dari emas, perak, tembaga, batu dan kayu, yang tidak dapat melihat, mendengar atau berjalan."
Kitab Wahyu, terutama pasal 9, menghadirkan gambaran profetik yang kuat tentang penghakiman ilahi yang akan datang. Ayat 20 memberikan sebuah sorotan yang sangat penting mengenai keadaan rohani umat manusia, bahkan di tengah malapetaka dan kehancuran yang mengerikan. Ayat ini bukan sekadar catatan peristiwa, melainkan sebuah peringatan dan refleksi mendalam tentang keteguhan manusia dalam dosa dan ketidakmampuannya untuk berpaling dari penyembahan berhala, baik yang bersifat harfiah maupun metaforis.
Fakta bahwa "sisa manusia yang tidak dibunuh oleh malapetaka-malapetaka itu, mereka tidak juga bertobat dari perbuatan tangan mereka" sungguh mengejutkan. Seharusnya, pengalaman yang begitu mengerikan seharusnya menjadi katalisator untuk introspeksi mendalam dan pencarian pertobatan. Namun, ayat ini mengungkapkan realitas yang tragis: bahwa sebagian besar manusia justru semakin mengeraskan hati mereka. Keterikatan pada "perbuatan tangan mereka" menunjukkan keengganan untuk melepaskan cara hidup yang salah, bahkan ketika konsekuensinya sangat jelas dan menyakitkan.
Penyebutan spesifik mengenai "berhala-berhala, dan dari emas, perak, tembaga, batu dan kayu" mengingatkan kita pada penyembahan berhala kuno yang mengakar. Namun, dalam konteks yang lebih luas, berhala-berhala ini dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang manusia tempatkan di atas Tuhan dalam kehidupan mereka. Ini bisa berupa kekayaan materi (emas, perak), kekuasaan, status sosial, teknologi, atau bahkan pandangan dunia yang menolak kebenaran ilahi. Ketidakmampuan berhala-berhala ini untuk "melihat, mendengar atau berjalan" menekankan kekosongan dan ketidakberdayaan mereka dalam memberikan keselamatan atau makna sejati. Manusia secara aktif memilih untuk mengabdi pada ilusi yang tidak dapat menyelamatkan mereka.
Pesan dalam Wahyu 9:20 tetap relevan hingga kini. Di era modern, bentuk-bentuk penyembahan berhala mungkin lebih halus. Budaya konsumerisme yang berlebihan, dorongan untuk terus-menerus mencari kesenangan duniawi, dan pengabaian nilai-nilai moral sering kali menjadi "berhala" yang mengalihkan perhatian manusia dari panggilan ilahi. Penekanan pada pencapaian materi dan pengakuan sosial dapat membuat orang tuli terhadap suara kebenaran dan kebutaan terhadap kebutuhan spiritual mereka.
Ayat ini mengingatkan kita akan bahaya ketidakacuhan rohani. Ketika malapetaka, kesulitan, atau tragedi melanda, reaksi yang sehat adalah mencari pemahaman yang lebih dalam, merenungkan kesalahan, dan beralih kepada sumber kekuatan dan kebenaran yang sejati. Namun, jika kita terus berpegang pada kebiasaan lama, pada nilai-nilai yang dangkal, dan pada ilusi yang tidak akan bertahan lama, kita berisiko menghadapi penghakiman yang sama, yaitu penolakan terhadap kebenaran demi kepalsuan yang kita ciptakan sendiri. Wahyu 9:20 adalah panggilan untuk memecah belenggu penyembahan berhala modern dan kembali kepada sumber kehidupan yang otentik.