Maka keluarlah kemuliaan TUHAN dari ambang pintu Bait Suci, lalu hinggap di atas kerub.
Ayat Yehezkiel 10:18 melukiskan sebuah adegan yang sungguh menggetarkan hati: kemuliaan TUHAN meninggalkan Bait Suci. Ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan sebuah simbolisme yang mendalam mengenai keberadaan ilahi yang mulai menjauh dari tempat yang telah dikuduskan bagi-Nya. Dalam konteks kitab Yehezkiel, peristiwa ini terjadi di tengah kehancuran Yerusalem dan Bait Suci, sebuah pengingat keras tentang konsekuensi dosa dan ketidaktaatan umat pilihan Allah.
Kemuliaan Allah, yang sering digambarkan sebagai kehadiran-Nya yang nyata dan kuasa-Nya yang tak tertandingi, adalah pusat dari ibadah dan kehidupan spiritual Israel. Ketika kemuliaan itu mundur, ini menandakan sebuah perubahan besar. Bait Suci yang megah, yang dibangun dengan susah payah, ternyata tidak mampu menahan keagungan ilahi jika hati para penyembahnya telah berpaling dari jalan-Nya. Kerub, makhluk surgawi yang menjaga kekudusan, menjadi tempat persinggahan kemuliaan yang sedang berlalu, menggarisbawahi betapa seriusnya situasi spiritual umat tersebut.
Pengalaman Yehezkiel ini bukan hanya cerita masa lalu, tetapi juga mengandung pelajaran abadi bagi kita. Ia mengingatkan kita bahwa hubungan kita dengan Tuhan tidak dapat diukur dari kemegahan bangunan fisik atau ritual semata. Yang terpenting adalah kesucian hati, ketaatan, dan kesetiaan kita kepada-Nya. Kehadiran Tuhan selalu mendambakan hati yang tulus dan hidup yang mencerminkan kasih-Nya. Sebaliknya, dosa dan kemunafikan dapat membuat kita perlahan-lahan merasakan menjauhnya hadirat-Nya dalam kehidupan sehari-hari.
Representasi visual dari kemuliaan Allah di atas kerub.
Kisah Yehezkiel 10:18 juga menjadi peringatan bahwa tidak ada tempat atau ritual yang dapat menahan kehadiran Tuhan jika hati manusia telah tertolak oleh-Nya. Perjanjian antara Allah dan umat-Nya selalu bersyarat pada ketaatan. Ketika umat Israel terus menerus jatuh dalam penyembahan berhala dan ketidakadilan, mereka secara efektif mengundang Allah untuk menarik diri. Ini adalah gambaran yang menyedihkan, tetapi juga penuh harapan.
Harapan itu muncul dari fakta bahwa meskipun kemuliaan Allah mundur dari Bait Suci yang hancur, janji pemulihan tetap ada. Kitab Yehezkiel sendiri melanjutkan dengan nubuat tentang kembalinya kemuliaan Allah pada masa yang akan datang, menandakan kesetiaan Allah yang tidak pernah padam meskipun umat-Nya gagal. Bagi kita, ini berarti bahwa tidak peduli seberapa jauh kita mungkin merasa dari Tuhan karena kesalahan kita, pintu pertobatan dan pemulihan selalu terbuka. Allah merindukan untuk kembali berdiam di hati yang bersih dan patuh.
Memahami Yehezkiel 10:18 mengajak kita untuk introspeksi diri. Apakah hidup kita saat ini mencerminkan kehadiran Allah yang sejati? Apakah tindakan dan pikiran kita selaras dengan kehendak-Nya? Penting untuk diingat bahwa kemuliaan Tuhan bukanlah sesuatu yang dapat kita miliki atau retensi dengan cara paksa. Sebaliknya, itu adalah karunia yang diberikan kepada mereka yang hidup dalam kekudusan, kasih, dan ketaatan. Mari kita berusaha untuk menjaga hati kita tetap murni, agar hadirat-Nya senantiasa menyertai kita, bukan hanya dalam ritual, tetapi dalam setiap aspek kehidupan kita.