"Engkau telah percaya kepada keelokanmu dan karena kemasyhuranmu engkau telah berzinah; engkau telah mencurahkan persundalanmu kepada setiap orang yang lewat, sehingga ia menjadi miliknya."
Kitab Yehezkiel, nabi yang diasingkan ke Babel, membawa pesan peringatan dan pengharapan bagi umat Allah. Dalam pasal 16, Yehezkiel menggunakan perumpamaan dramatis tentang Yerusalem, yang diibaratkan sebagai seorang perempuan yang ditinggalkan, ditemukan, dirawat, namun kemudian berpaling dari kasih perjanjiannya. Ayat 15 secara khusus menyoroti akar dari pengkhianatan Yerusalem: kesombongan dan kepercayaan diri yang berlebihan pada "keelokan" dan "kemasyhurannya".
Keelokan yang dimaksud di sini bukan hanya sekadar penampilan fisik, melainkan merujuk pada berkat dan kemakmuran yang Tuhan berikan kepada Yerusalem. Kota itu diberkati dengan lokasi strategis, sumber daya alam, dan terlebih lagi, hadirat Allah yang berdiam di Bait Suci. Keindahan dan kekuatan yang mereka miliki seharusnya menjadi pengingat akan sumber segala kebaikan itu, yaitu Tuhan. Namun, sebaliknya, mereka justru menjadikan kemuliaan tersebut sebagai alat untuk memuaskan diri dan mencari kesenangan dari sumber-sumber yang salah.
Istilah "berzinah" dan "persundalan" dalam konteks ini melambangkan penyembahan berhala dan berpalingnya umat Israel dari perjanjian kesetiaan kepada Tuhan. Mereka tidak lagi memandang Tuhan sebagai satu-satunya sumber kehidupan dan perlindungan, tetapi justru mencari pertolongan dan pengayoman dari bangsa-bangsa lain, serta tenggelam dalam praktik-praktik moral yang bejat. Kebebasan yang diberikan Tuhan disalahgunakan untuk mengejar kesenangan sementara yang mengarah pada kehancuran.
Pesan Yehezkiel 16:15 memiliki relevansi yang kuat hingga saat ini. Kita sering kali tergoda untuk mengandalkan kekuatan, bakat, kekayaan, atau status sosial kita sendiri. Keberhasilan dan pujian dari dunia bisa membuat kita merasa sombong dan lupa bahwa semua itu adalah anugerah dari Tuhan. Ketika kita mulai percaya pada "keelokan" diri sendiri, kita berisiko menggeser fokus dari Sang Pemberi hidup ke ciptaan-Nya, termasuk diri kita sendiri.
Dalam era informasi yang serba cepat, godaan untuk "mencurahkan persundalan kepada setiap orang yang lewat" dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk. Di dunia digital, mudah saja kita terpikat pada popularitas semu, pengakuan instan, atau kepuasan diri yang dangkal melalui media sosial. Kita bisa saja mengorbankan nilai-nilai moral dan spiritual demi mendapatkan validasi dari banyak orang, tanpa menyadari bahwa itu adalah bentuk "persundalan" rohani yang menjauhkan kita dari kesetiaan sejati kepada Tuhan.
Peringatan ini mendorong kita untuk senantiasa memeriksa hati kita. Apakah kita masih mengandalkan Tuhan dalam segala aspek kehidupan kita? Apakah kita menggunakan berkat dan kemampuan yang Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya, atau justru untuk kepuasan diri yang egois? Kesetiaan kepada Tuhan bukanlah sebuah ritual semata, melainkan sebuah komitmen hati yang terwujud dalam tindakan sehari-hari, dalam menjaga kekudusan, dan dalam menolak segala bentuk penyembahan berhala modern yang mengalihkan kasih kita dari sumber kehidupan yang sejati.