Yehezkiel 16:62 - Janji Kesetiaan Allah

"Tetapi Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan engkau, dan engkau akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN."

Perjanjian Kesetiaan

Simbol perjanjian dan kepercayaan

Ayat Yehezkiel 16:62 menjadi penegasan yang luar biasa tentang karakter Allah yang setia dan perjanjian-Nya yang abadi. Dalam konteks pasal ini, Allah berbicara kepada Yerusalem, kota yang digambarkan seperti seorang perempuan yang ditinggalkan dan kemudian dipelihara, namun pada akhirnya berkhianat. Gambaran ini menyoroti ketidaksetiaan umat manusia dan dosa-dosa yang mereka lakukan.

Namun, di tengah gambaran dosa dan hukuman, muncul janji yang begitu mengharukan: "Tetapi Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan engkau, dan engkau akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN." Perjanjian ini bukanlah sekadar kesepakatan biasa. Ini adalah manifestasi dari kasih karunia Allah yang tak terbatas. Sekalipun manusia sering kali gagal dan mengingkari janji, Allah tetap berpegang teguh pada kesetiaan-Nya.

Kata "perjanjian" dalam konteks Alkitab sering kali merujuk pada hubungan yang mendalam dan mengikat. Dalam Perjanjian Lama, Allah membuat perjanjian dengan Nuh, Abraham, Musa, dan Daud. Perjanjian-perjanjian ini adalah dasar dari hubungan Israel dengan Allah. Namun, Yehezkiel 16:62 berbicara tentang sebuah perjanjian baru yang melampaui ketentuan-ketentuan lama, sebuah perjanjian yang berakar pada kasih ilahi itu sendiri.

Apa artinya bagi kita saat ini ketika kita merenungkan ayat ini? Ini mengingatkan kita bahwa dasar hubungan kita dengan Allah bukanlah usaha kita untuk menjadi sempurna, melainkan kesetiaan-Nya yang tak tergoyahkan. Dia tidak berputus asa dari kita meskipun kita berdosa. Sebaliknya, Dia menawarkan pemulihan dan hubungan yang diperbarui melalui perjanjian-Nya.

Perjanjian ini memberikan kepastian. "Engkau akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN." Pengetahuan ini bukan hanya pengetahuan intelektual, tetapi pengalaman yang mendalam tentang siapa Allah itu. Mengetahui Allah berarti mengenal kasih-Nya, kekuatan-Nya, keadilan-Nya, dan terutama kesetiaan-Nya. Di tengah badai kehidupan, ketidakpastian dunia, dan kerapuhan diri sendiri, firman ini menjadi sauh yang teguh.

Kita dapat bersukacita karena Allah adalah Allah yang mengikat perjanjian. Kesetiaan-Nya tidak bergantung pada kondisi atau kelayakan kita, melainkan pada sifat-Nya sendiri. Di dalam Kristus, perjanjian Allah mencapai penggenapan terbesarnya. Dia menjadi pengantara perjanjian baru, yang menawarkan pengampunan dosa dan hidup kekal bagi semua yang percaya. Ayat Yehezkiel 16:62, meskipun diucapkan dalam konteks masa lalu, terus berbicara kepada hati kita hari ini, mengingatkan kita akan dasar yang kuat dari iman kita: kesetiaan Allah yang tidak pernah gagal.