Kitab Yehezkiel, seorang nabi yang melayani di masa pembuangan Babel, penuh dengan gambaran simbolis yang kuat dan peringatan ilahi. Salah satu bagian yang paling menonjol adalah perumpamaan tentang dua bersaudari, Aholah dan Aholibah, yang mewakili dua kerajaan Israel: Kerajaan Utara (Samaria/Israel) dan Kerajaan Selatan (Yerusalem/Yehuda). Ayat Yehezkiel 23:44 ini merupakan bagian dari deskripsi yang gamblang mengenai kemerosotan moral dan spiritual mereka, yang akhirnya membawa mereka pada kehancuran.
Perumpamaan ini diawali dengan penggambaran Aholah dan Aholibah sebagai simbol umat Allah yang seharusnya setia kepada perjanjian dengan Tuhan. Namun, alih-alih menjaga kesetiaan itu, mereka justru terjerumus dalam percabulan spiritual dan fisik. Mereka mencari persekutuan dengan bangsa-bangsa asing, menyembah dewa-dewa lain, dan meniru kebiasaan-kebiasaan buruk mereka. Tuhan menggunakan gambaran yang kasar dan lugas untuk menyampaikan keseriusan dosa mereka.
Simbol Keadilan dan Penghakiman
Ayat 44 secara spesifik menggambarkan bagaimana mereka diperlakukan oleh para "kekasih" mereka, yaitu bangsa-bangsa asing yang menjadi tujuan pelarian dan persekutuan mereka. Frasa "bagai orang menghampiri seorang perempuan sundal" menegaskan status mereka yang rendah dan hina di mata bangsa-bangsa tersebut, meskipun mereka menganggapnya sebagai sebuah kemitraan atau bahkan persembahan. Ini bukan hubungan yang setara, melainkan eksploitasi atas sebuah bangsa yang telah meninggalkan Tuhan dan moralitasnya.
Tuhan menyatakan bahwa Aholah dan Aholibah akan menghadapi penghakiman yang setimpal dengan perbuatan mereka. Keduanya akan dihukum dengan cara yang sama seperti cara mereka hidup dalam kemesuman dan kegagalan dalam menjaga kekudusan. Ini adalah peringatan keras tentang konsekuensi dari pengkhianatan terhadap perjanjian ilahi. Dosa tidak bisa ditutupi, dan setiap tindakan akan memiliki akibatnya.
Pesan Yehezkiel 23:44, meskipun disampaikan dalam konteks historis umat Israel, masih relevan bagi kita saat ini. Kita diingatkan untuk senantiasa menjaga kesetiaan kita kepada Tuhan, baik secara individu maupun komunal. Menjauhi dosa, kemerosotan moral, dan penyembahan berhala dalam bentuk apa pun—baik itu materialisme, keserakahan, atau kekuasaan—adalah kunci untuk menghindari murka ilahi dan mengalami berkat-Nya. Penggambaran yang gamblang ini seharusnya menjadi cambuk untuk introspeksi dan pertobatan yang sungguh-sungguh.