"Sekarang, biarlah mereka membuang segala berhala mereka dan bangkai orang mati mereka jauh dari hadapan-Ku; maka Aku akan diam di tengah-tengah mereka untuk selama-lamanya."
Ayat Yehezkiel 43:9 merupakan seruan profetik yang kuat dari Nabi Yehezkiel, disampaikan di tengah-tengah masa pembuangan umat Israel. Pesan ini bukan sekadar larangan terhadap penyembahan berhala, melainkan sebuah janji keselamatan yang bersyarat. Inti dari ayat ini adalah penekanan pada kesucian Allah dan konsekuensi dari ketidakmurnian di hadapan-Nya. Perintah untuk "membuang segala berhala mereka dan bangkai orang mati mereka jauh dari hadapan-Ku" menyiratkan bahwa keberadaan berhala dan segala sesuatu yang dianggap najis menurut hukum Taurat, adalah penghalang utama bagi kehadiran Allah.
Dalam konteks sejarah Israel, penyembahan berhala telah menjadi sumber malapetaka yang berulang kali membawa umat ini ke dalam penghukuman. Bangkai, secara harfiah maupun kiasan, melambangkan kematian, dosa, dan segala sesuatu yang mencemari kemurnian. Allah yang Maha Suci tidak dapat berdiam di tempat yang tercemar oleh penyembahan ilah lain atau ketidaktaatan yang mendalam. Penolakan terhadap hal-hal najis ini adalah langkah pertama yang krusial agar Allah dapat kembali mengklaim tempat-Nya di tengah umat-Nya.
Namun, ayat ini tidak berhenti pada perintah; ia memberikan janji yang luar biasa. Kata "maka Aku akan diam di tengah-tengah mereka untuk selama-lamanya" adalah inti dari wahyu kemuliaan Allah yang akan kembali. Ini bukan hanya pengulangan kehadiran Allah seperti di masa lalu, melainkan sebuah peresmian kehadiran yang baru, yang lebih dalam, dan bersifat kekal. Setelah umat Israel membersihkan diri dari semua kemungkaran, Allah berjanji untuk tidak hanya hadir, tetapi berdiam di tengah-tengah mereka. Ini adalah gambaran antisipatif tentang Bait Allah yang baru, yang dipenuhi dengan kemuliaan Allah, tempat di mana umat-Nya dapat bersekutu dengan-Nya tanpa hambatan.
Pesan ini memiliki relevansi yang mendalam bagi setiap individu dan komunitas. Dalam pengertian rohani, kita dipanggil untuk secara aktif "membuang" segala sesuatu yang menghalangi hubungan kita dengan Allah. Ini bisa berarti melepaskan obsesi materi, meninggalkan kebiasaan buruk, menolak pemikiran yang tidak murni, atau mengakhiri hubungan yang merusak. Kesucian bukanlah sekadar kepatuhan lahiriah, melainkan transformasi batiniah yang mengarah pada penyerahan diri total kepada Allah.
Ketika kita berusaha untuk hidup kudus dan membuang segala bentuk ketidakmurnian dari kehidupan kita, kita membuka pintu bagi kehadiran Allah yang transformatif. Kehadiran-Nya bukan hanya memberi rasa aman, tetapi juga kekuatan, bimbingan, dan sukacita yang mendalam. Yehezkiel 43:9 mengingatkan kita bahwa Allah mendambakan keintiman dengan umat-Nya, tetapi keintiman itu dibangun di atas fondasi kesucian. Dengan menyingkirkan apa yang najis, kita mempersiapkan hati kita untuk menerima kehadiran-Nya yang mulia, yang dijanjikan akan tinggal bersama kita selamanya. Ini adalah janji indah tentang pemulihan hubungan, di mana Allah hadir bukan sebagai hakim, tetapi sebagai Sang Raja yang berdiam di antara umat tebusan-Nya yang kudus.