Yehezkiel 8:14 - Menangisi Tammuz di Yerusalem

"Lalu Ia membawa aku ke pintu gerbang rumah TUHAN yang menuju ke utara, dan lihat, di sana ada perempuan-perempuan duduk menangisi Tammuz."

Ayat yang tercatat dalam Yehezkiel 8:14 membawa kita pada gambaran visual yang sangat menyentuh dan menyedihkan tentang kondisi spiritual umat Israel di Yerusalem. Penglihatan yang diberikan kepada nabi Yehezkiel ini bukan sekadar cerita, melainkan sebuah peringatan keras dan pengungkapan dosa yang mengakar di jantung ibadah mereka. Lokasi kejadian, pintu gerbang rumah TUHAN yang menuju utara, adalah tempat yang seharusnya penuh dengan kekudusan dan ketaatan kepada Allah Yang Mahatinggi. Namun, justru di sana, di dekat bait-Nya yang sakral, terjadi sebuah praktik yang sangat dilarang dan memuakkan di mata Tuhan.

Perempuan-perempuan yang duduk menangisi Tammuz menggambarkan sebuah bentuk penyembahan berhala yang meniru praktik-praktik keagamaan bangsa-bangsa di sekitar mereka. Tammuz adalah nama dewa kesuburan yang diyakini mati dan dibangkitkan kembali setiap tahun. Ritual "menangisi Tammuz" biasanya merupakan upacara kesedihan atas kematian dewa tersebut, yang sering kali diiringi dengan kesedihan yang mendalam dan tangisan yang melankolis. Tindakan ini menunjukkan bahwa umat Israel telah meninggalkan kesetiaan mereka kepada TUHAN dan beralih kepada dewa-dewa asing, membiarkan tradisi pagan meresapi kehidupan rohani mereka.

Apa yang membuat tindakan ini begitu serius di mata Tuhan? Pertama, ini adalah pengkhianatan terhadap perjanjian. Israel telah diperintahkan untuk tidak menyembah allah lain selain TUHAN. Perbuatan ini adalah pelanggaran langsung terhadap hukum Taurat. Kedua, ini adalah bentuk ketidakpedulian terhadap kekudusan Tuhan. Menangisi dewa asing di dekat rumah Tuhan adalah sebuah penghinaan terhadap keberadaan dan keagungan-Nya. Seolah-olah mereka menganggap Tuhan tidak cukup atau tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, sehingga mereka mencari bantuan dari sumber yang lain.

Penglihatan ini juga menyoroti bagaimana dosa dapat merasuki dan merusak komunitas, bahkan menempatkan perempuan dalam peran partisipasi dalam praktik yang dilarang. Ini bukan hanya kesalahan individu, tetapi sebuah kegagalan kolektif yang memerlukan teguran dan koreksi. TUHAN, dalam keadilan-Nya, tidak dapat membiarkan dosa semacam ini terus berlanjut tanpa konsekuensi. Melalui Yehezkiel, Ia mengungkapkan murka-Nya dan menyoroti konsekuensi dari kesetiaan yang goyah dan ibadah yang tercemar. Kisah ini menjadi pengingat abadi akan pentingnya kesetiaan total kepada Tuhan dan bahaya dari kompromi spiritual yang dapat membawa kehancuran.

Pesan Yehezkiel 8:14 terus bergema hingga hari ini. Ia mengingatkan kita untuk terus memeriksa hati dan praktik ibadah kita. Apakah ada "Tammuz" lain dalam hidup kita yang kita tangisi, yang kita prioritaskan di atas Tuhan? Apakah ada praktik-praktik yang terlihat sepele namun sebenarnya menjauhkan kita dari kekudusan-Nya? Pemahaman mendalam tentang ayat ini mendorong kita untuk kembali kepada kesetiaan yang murni dan ibadah yang tulus hanya kepada Tuhan semata.