Yeremia 16:11 "Dan kamu akan berkata: 'Sebab nenek moyang kami meninggalkan TUHAN, Allah nenek moyang kami, yang telah menuntun mereka keluar dari tanah Mesir.'"

Ayat Yeremia 16:11 menjadi sebuah pengingat yang kuat tentang konsekuensi meninggalkan Tuhan. Melalui perkataan umat Israel, kita dapat melihat akar dari masalah yang mereka hadapi: sebuah pengabaian terhadap sumber anugerah dan kekuatan mereka. Kalimat ini bukan sekadar pengakuan pasif, melainkan sebuah kesaksian tentang sebuah kesalahan fundamental yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Nenek moyang mereka telah mengalami pembebasan yang ajaib dari perbudakan di tanah Mesir, sebuah peristiwa yang seharusnya terukir dalam ingatan kolektif mereka sebagai bukti kasih dan kuasa Tuhan. Tuhanlah yang dengan tangan-Nya yang kuat telah menuntun mereka keluar, memimpin mereka melalui padang gurun, dan memberikan mereka janji tanah perjanjian. Namun, seiring berjalannya waktu, memori akan kebaikan Tuhan ini mulai memudar, digantikan oleh kelalaian dan akhirnya, penolakan.

Ketika Yeremia menubuatkan hukuman yang akan menimpa umat Israel, mereka mencari alasan atas kemalangan mereka. Namun, alasan yang mereka temukan justru mengungkap penyakit rohani yang lebih dalam. Menyalahkan nenek moyang adalah cara untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pribadi. Seolah-olah, mereka berkata, "Ini bukan salah kami, ini adalah warisan dari kesalahan orang tua kami." Pernyataan ini menunjukkan pola berulang dari ketidaksetiaan yang tidak diatasi. Alih-alih belajar dari kesalahan masa lalu dan kembali kepada Tuhan, mereka justru mengulanginya.

Perintah Tuhan dalam ayat-ayat sebelumnya (Yeremia 16:10-11) adalah tentang meninggalkan kebiasaan dan perilaku yang telah menjauhkan mereka dari Tuhan. Ini termasuk penyembahan berhala, praktik-praktik yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, dan pola pikir yang memprioritaskan hal-hal duniawi di atas kebenaran ilahi. Namun, mereka menolak untuk mendengar. Mereka lebih memilih untuk mencari pembenaran dalam sejarah nenek moyang mereka daripada melakukan pertobatan yang tulus.

Implikasi dari penolakan ini sangatlah serius. Tuhan telah menyatakan dengan jelas bahwa konsekuensi dari meninggalkan-Nya adalah pembuangan dan penderitaan. Alih-alih mengakui kesalahan mereka dan mencari pengampunan, mereka malah terus berjalan di jalan yang salah, membawa kutukan warisan yang sama kepada generasi mendatang. Ayat ini mengajarkan kita pentingnya refleksi diri dan akuntabilitas rohani. Kita tidak bisa terus menerus menyalahkan masa lalu atau orang lain atas kondisi kita saat ini. Tuhan memanggil kita untuk secara aktif memilih kesetiaan kepada-Nya, hari demi hari, dengan belajar dari sejarah dan pengalaman kita sendiri.

Kisah ini mengingatkan bahwa meninggalkan Tuhan bukanlah tindakan tunggal, melainkan sebuah proses yang dimulai dengan kelalaian, berlanjut dengan pengabaian, dan seringkali diakhiri dengan penolakan sadar. Sangatlah penting bagi kita untuk secara teratur memeriksa hati kita dan memastikan bahwa kita tidak mengikuti jejak nenek moyang yang telah mengabaikan panggilan Tuhan. Kembalilah kepada sumber kehidupan, kepada Tuhan yang telah menunjukkan kasih-Nya yang besar, dan hiduplah sesuai dengan kehendak-Nya.