Yeremia 18:7 - Kuasa Allah atas Bangsa-Bangsa

"Apabila Aku berfirman tentang suatu bangsa dan tentang suatu kerajaan, bahwa Aku hendak mencabut, membinasakan dan memusnahkannya, maka jika bangsa yang kepadanya Aku berfirman itu berbalik dari kejahatannya, akan menyesallah Aku tentang malapetaka yang hendak Kujatuhkan kepada mereka."

Ayat Yeremia 18:7 menyajikan sebuah kebenaran teologis yang mendalam mengenai kedaulatan Allah dan respons-Nya terhadap tindakan manusia. Inti dari ayat ini adalah penegasan bahwa Allah memiliki kuasa mutlak atas segala bangsa dan kerajaan di bumi. Ia dapat menetapkan takdir mereka, mengangkat mereka ke tampuk kekuasaan, atau menjatuhkan mereka ke dalam kehancuran. Namun, kuasa ini tidak dijalankan secara sewenang-wenang. Ada dimensi moral dan relasional yang krusial dalam cara Allah berinteraksi dengan ciptaan-Nya.

Firman Allah yang disampaikan melalui Nabi Yeremia ini bukanlah sekadar prediksi masa depan, melainkan sebuah pernyataan prinsip ilahi. Ketika Allah menyatakan niat-Nya untuk "mencabut, membinasakan dan memusnahkan" suatu bangsa, itu mencerminkan kedaulatan-Nya untuk menghakimi kejahatan dan ketidaktaatan. Kejahatan adalah sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah, dan bangsa-bangsa yang terus-menerus tenggelam dalam dosa dan kebejatan pada akhirnya akan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Allah tidak akan membiarkan kejahatan merajalela tanpa ada pertanggungjawaban.

Allah Mengendalikan Takdir Bangsa Namun Berkenan pada Pertobatan

Ilustrasi Kedaulatan dan Kasih Allah

Namun, bagian paling menakjubkan dari ayat ini adalah klausa kondisionalnya: "maka jika bangsa yang kepadanya Aku berfirman itu berbalik dari kejahatannya, akan menyesallah Aku tentang malapetaka yang hendak Kujatuhkan kepada mereka." Kata "menyesallah" di sini tidak menunjukkan penyesalan dalam arti manusiawi yang penuh dengan kesedihan atau kekecewaan atas kesalahan. Sebaliknya, ini adalah ungkapan dari perubahan hati Allah dalam menanggapi pertobatan. Allah, dalam kemuliaan-Nya yang tak terbatas, bisa saja melanjutkan rencana penghukuman-Nya. Tetapi, ketika suatu bangsa menunjukkan ketulusan dalam meninggalkan jalan kejahatan mereka, Allah menunjukkan belas kasihan-Nya.

Hal ini menekankan bahwa Allah adalah Allah yang adil sekaligus penuh kasih. Keadilan-Nya menuntut penghukuman atas dosa, tetapi kasih-Nya menyediakan jalan keluar melalui pengampunan dan pemulihan. Pertobatan bukanlah sekadar perubahan perilaku eksternal, tetapi pergolakan batin yang tulus, pengakuan dosa, dan keinginan untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Ketika pertobatan sejati terjadi, Allah tidak terpaku pada rencana penghukuman-Nya. Ia bersedia untuk mengalihkan murka-Nya dan memberikan kesempatan baru.

Implikasi dari Yeremia 18:7 sangat luas. Bagi individu, ini adalah panggilan untuk terus menerus menguji hati dan pikiran, serta segera berbalik kepada Allah ketika menyadari kesalahan. Bagi bangsa dan masyarakat, ini adalah pengingat bahwa nasib mereka tidak sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan politik atau ekonomi semata, tetapi juga oleh hubungan mereka dengan Sang Pencipta. Apabila suatu bangsa secara kolektif berpaling dari kejahatan, dari ketidakadilan, dari korupsi, dan mencari wajah Allah, maka ada harapan untuk pemulihan dan berkat. Sebaliknya, jika suatu bangsa mengabaikan panggilan Allah untuk bertobat, maka mereka akan menghadapi konsekuensi yang telah dinyatakan. Ayat ini merupakan fondasi penting untuk memahami sifat Allah yang berdaulat namun juga penuh belas kasih, serta pentingnya respons manusiawi terhadap kebenaran ilahi.