"Apabila bangsa itu berbalik dari kejahatannya, yang telah Kutinggalkan bertobat, maka Aku pun akan menyesali malapetaka yang hendak Kujatuhkan atas mereka."
Ilustrasi tangan ilahi membentuk tanah liat yang tadinya rusak, melambangkan pembentukan kembali dan kasih karunia.
Ayat Yeremia 18:8 adalah salah satu ayat yang paling sering diangkat ketika membahas sifat Tuhan, khususnya terkait dengan kemurahan hati dan kemampuan-Nya untuk mengubah keputusan-Nya. Dalam konteks Kitab Yeremia, nabi ini diutus untuk menyampaikan firman Tuhan kepada umat Israel yang telah jatuh dalam penyembahan berhala dan berbagai dosa lainnya. Tuhan memberikan peringatan tentang hukuman yang akan datang, namun di balik peringatan itu, tersimpan sebuah janji kemurahan.
Kalimat "Apabila bangsa itu berbalik dari kejahatannya..." membuka sebuah kondisi. Ini bukanlah kemurahan yang otomatis diberikan tanpa syarat. Tuhan menghendaki adanya respon dari umat-Nya. Respons tersebut adalah pertobatan. Pertobatan bukanlah sekadar penyesalan di bibir, melainkan sebuah perubahan hati dan tindakan. Ini berarti meninggalkan jalan dosa, memalingkan diri dari perbuatan jahat, dan kembali kepada ketaatan kepada Tuhan. Ketika umat Israel menunjukkan ketulusan dalam pertobatan mereka, barulah Tuhan akan "menyesali malapetaka yang hendak Kujatuhkan atas mereka."
Kata "menyesali" di sini bukanlah menunjukkan bahwa Tuhan membuat kesalahan atau berubah pikiran dalam artian negatif seperti manusia yang plin-plan. Dalam teologi, ini sering diartikan sebagai Tuhan menarik kembali ancaman hukuman yang telah Dia firmankan, karena kondisi yang mendasarinya (yaitu dosa umat-Nya) telah berubah. Ini adalah demonstrasi dari belas kasihan dan kesabaran ilahi. Tuhan tidak menginginkan kebinasaan umat-Nya, melainkan agar mereka hidup.
Contoh historis dari ayat ini dapat dilihat dalam kisah Niniwe dalam Kitab Yunus. Yunus menyampaikan nubuat kehancuran, namun ketika penduduk Niniwe bertobat secara massal, Tuhan pun mengurungkan niat-Nya untuk menghancurkan kota itu. Demikian pula, dalam perjanjian antara Tuhan dan umat Israel, ada elemen kondisional. Ketaatan membawa berkat, sementara ketidaktaatan membawa hukuman. Namun, kemurahan Tuhan selalu tersedia bagi mereka yang mau kembali kepada-Nya.
Implikasi dari Yeremia 18:8 sangat mendalam bagi kehidupan iman. Ayat ini mengajarkan bahwa Tuhan adalah pribadi yang dapat didekati, yang mendengarkan doa dan tangisan umat-Nya, terlebih lagi ketika tangisan itu disertai dengan kerendahan hati dan keinginan untuk berubah. Ini memberikan pengharapan bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar atau jalan yang terlalu gelap yang tidak bisa diampuni oleh Tuhan, asalkan ada kemauan untuk berbalik kepada-Nya. Perumpamaan tentang tukang periuk dan tanah liat dalam pasal yang sama (Yeremia 18:1-6) semakin memperjelas bahwa Tuhan adalah Penguasa kehidupan, yang dapat membentuk ulang hidup kita jika kita mau menyerahkan diri dalam tangan-Nya.
Oleh karena itu, Yeremia 18:8 bukan hanya sekadar ayat penghiburan, tetapi juga panggilan untuk terus menerus menguji hati dan perilaku kita. Apakah kita sudah benar-benar berbalik dari kejahatan? Apakah pertobatan kita tulus dan bertahan lama? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan bagaimana kita mengalami kebaikan dan kemurahan Tuhan dalam perjalanan hidup kita.