"Bangsa-bangsa yang menundukkan tengkuknya pada kuk raja Babel dan mengabdi kepadanya, bangsa-bangsa itu akan Kubuat tetap tinggal di tanah mereka sendiri," demikianlah firman TUHAN, "untuk mengusahakan dan memeliharanya."
Ilustrasi: Nasihat Bijak di Tengah Ketidakpastian
Firman Tuhan yang tercatat dalam Yeremia 27:11 memberikan sebuah perspektif yang mendalam mengenai bagaimana menyikapi kekuatan yang lebih besar, khususnya dalam konteks sejarah bangsa Israel yang menghadapi kekuasaan Babilonia. Ayat ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah prinsip ilahi yang relevan hingga kini, menawarkan panduan bagi kita dalam menghadapi berbagai situasi sulit, tekanan, atau bahkan otoritas yang tampak menindas.
Pada masa Nabi Yeremia, Yehuda sedang berada di ambang kehancuran akibat ketidaktaatan mereka kepada Tuhan. Bangsa Babilonia di bawah Nebukadnezar menjadi alat penghukuman Tuhan. Dalam situasi genting ini, banyak nabi palsu yang menawarkan harapan kosong dan menentang perintah Tuhan untuk tunduk pada kekuasaan Babilonia. Mereka menyebarkan pesan pemberontakan dan ilusi kemerdekaan yang justru akan membawa kehancuran lebih parah.
Namun, Tuhan melalui Yeremia memberikan peringatan yang tegas dan sekaligus tawaran solusi yang penuh hikmat. Yeremia 27:11 menekankan pentingnya sikap "menundukkan tengkuk pada kuk raja Babel" dan "mengabdi kepadanya". Istilah "kuk" (yoke) dalam konteks Alkitab sering kali melambangkan beban, tanggung jawab, atau penyerahan diri pada suatu otoritas. Alih-alih melihat penyerahan ini sebagai tanda kelemahan total, Tuhan justru menjanjikan sebuah hasil yang luar biasa: "bangsa-bangsa itu akan Kubuat tetap tinggal di tanah mereka sendiri, untuk mengusahakan dan memeliharanya."
Tawaran ini sangat kontras dengan nasib bangsa-bangsa lain yang menolak dan memberontak. Pemberontakan sering kali berujung pada kehancuran total, pembuangan, bahkan pemusnahan. Namun, ketaatan yang disertai penyerahan diri yang bijak kepada otoritas yang Tuhan izinkan hadir, memberikan kesempatan untuk tetap berada di "tanah mereka sendiri". Ini berarti mereka masih memiliki kesempatan untuk melanjutkan kehidupan, menjaga warisan mereka, dan yang terpenting, untuk terus "mengusahakan dan memeliharanya". Ada sebuah keberlanjutan yang dijanjikan, sebuah kesempatan untuk terus berkarya dan membangun, meskipun dalam kondisi yang tidak ideal.
Prinsip ini mengajarkan kita bahwa terkadang, respons yang paling bijak dalam menghadapi kekuatan yang lebih besar atau situasi yang sulit adalah dengan tidak memberontak secara gegabah. Pemberontakan yang tidak pada tempatnya sering kali hanya akan memperburuk keadaan. Sebaliknya, sikap rendah hati untuk mengakui realitas, berserah pada kehendak Tuhan yang sering kali bekerja melalui berbagai cara, dan tetap setia menjalankan tugas dan tanggung jawab kita "di tanah kita sendiri" (baik itu dalam keluarga, pekerjaan, atau masyarakat), akan membuka jalan bagi pemeliharaan dan keberlangsungan hidup yang diberkati. Tuhan berdaulat atas segala sesuatu, dan ketaatan kita kepada-Nya, bahkan ketika itu berarti tunduk pada otoritas duniawi yang diizinkan-Nya, akan mendatangkan pemeliharaan ilahi.