"Telah ditetapkan atasnya oleh TUHAN, bahwa ia harus menjadi imam bagi-Nya, maka ia harus berseru kepada TUHAN dan mengatakan: 'Ya, TUHAN, janganlah Engkau menahan belas kasihan-Mu dari aku, biarlah aku beroleh belas kasihan seperti yang Kau janjikan kepada orang-orang yang mencintai Engkau.'"
Ayat dari Kitab Yeremia, pasal 29 ayat 26, membuka jendela kepada sebuah realitas yang sering kali dialami oleh umat Tuhan: hidup di tengah ketidakpastian, bahkan pembuangan, namun tetap dituntut untuk menjalankan peran dan panggilan ilahi. Kata kunci Yeremia 29 26 membawa kita pada momen krusial dalam sejarah bangsa Israel, di mana mereka harus menghadapi konsekuensi dari ketidaktaatan mereka. Dalam situasi tertekan inilah, Tuhan berbicara melalui Nabi Yeremia, bukan untuk membebaskan mereka seketika dari kesulitan, tetapi untuk menegaskan identitas dan tanggung jawab mereka sebagai umat pilihan-Nya.
Kalimat kunci, "Telah ditetapkan atasnya oleh TUHAN, bahwa ia harus menjadi imam bagi-Nya," bukanlah sekadar pernyataan status, melainkan sebuah pengingat mendalam akan anugerah dan tujuan ilahi yang tidak terhapuskan, sekalipun dalam keadaan terpuruk. Menjadi imam berarti memiliki akses khusus kepada Tuhan, membawa persembahan, dan menjadi perantara. Bagi bangsa Israel yang dibuang ke Babel, ini berarti bahwa mereka, bahkan di tanah asing, tetap memiliki peran sakral di hadapan Allah. Peran ini tidak bergantung pada kenyamanan atau kemudahan situasi, melainkan pada anugerah Tuhan yang tidak pernah berkesudahan.
Bagian selanjutnya dari ayat ini, "maka ia harus berseru kepada TUHAN dan mengatakan: 'Ya, TUHAN, janganlah Engkau menahan belas kasihan-Mu dari aku, biarlah aku beroleh belas kasihan seperti yang Kau janjikan kepada orang-orang yang mencintai Engkau,'" menunjukkan respons yang diharapkan dari mereka yang menyadari panggilan ilahi tersebut. Seruan ini bukan seruan keputusasaan yang pasrah, melainkan seruan iman yang penuh harap. Mereka dipanggil untuk mengingat janji-janji Tuhan dan bersandar pada kesetiaan-Nya.
Dalam konteks pembuangan, seruan ini menjadi pengingat bahwa pemulihan tidak datang karena kekuatan manusia atau kebaikan keadaan, melainkan semata-mata karena belas kasihan Allah. Janji Tuhan kepada mereka yang mencintai-Nya adalah fondasi dari seruan ini. Ini mengajarkan kita bahwa di setiap masa, bahkan ketika kita merasa jauh dari hadirat-Nya atau terbebani oleh dosa dan kesalahan, pintu untuk kembali kepada-Nya selalu terbuka melalui seruan yang tulus dan iman pada janji-janji-Nya.
Konteks Yeremia 29 26 memberikan pelajaran berharga bagi kehidupan rohani kita saat ini. Kita mungkin tidak mengalami pembuangan fisik seperti bangsa Israel, tetapi seringkali kita dihadapkan pada tantangan, kekecewaan, atau bahkan krisis iman. Dalam situasi seperti ini, kita diingatkan bahwa kita adalah umat yang telah dipilih Tuhan, dipanggil untuk menjadi "kerajaan imam" (1 Petrus 2:9). Panggilan ini tetap relevan, terlepas dari pencapaian duniawi kita atau keadaan pribadi kita.
Yang terpenting adalah bagaimana kita merespons panggilan tersebut. Ayat ini menekankan pentingnya hubungan yang intim dengan Tuhan melalui doa dan seruan. Kita diajak untuk tidak malu mengakui kerapuhan kita, tetapi justru menggunakannya sebagai sarana untuk lebih dekat bersandar pada belas kasihan dan janji-janji Allah. Seperti bangsa Israel yang dibuang, kita pun perlu terus-menerus mengingatkan diri kita akan kesetiaan Tuhan dan kasih-Nya yang kekal kepada mereka yang mengasihi Dia. Kebenaran ini memberi kekuatan dan pengharapan, mengarahkan kita untuk senantiasa mencari wajah-Nya dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya, di mana pun kita berada.