"Tetapi TUHAN berfirman kepada raja Yehuda, yang duduk di atas takhta Daud, ... ia tidak mendengarkan perkataan TUHAN, Allah mereka, dalam segala yang disuruhkan-Nya kepadanya."
Ayat Yeremia 37:2 ini membukakan jendela penting ke dalam situasi bangsa Yehuda di masa yang penuh gejolak. Di tengah ancaman kekalahan dan kehancuran yang semakin nyata, raja Yehuda, Zedekia, duduk di atas takhta yang merupakan simbol otoritas dan warisan leluhurnya. Namun, otoritas ini terasa rapuh, terancam oleh kekuatan Babel yang tak terbendung. Dalam konteks ini, firman Tuhan datang melalui nabi Yeremia, bukan sekadar sebagai nasihat, tetapi sebagai peringatan serius yang mencerminkan kesetiaan Allah yang tak pernah goyah, meskipun umat-Nya sering kali berpaling.
Pesan yang disampaikan TUHAN kepada raja Zedekia begitu jelas: ia tidak mau mendengarkan suara Tuhan. Ini bukan ketidaktahuan, melainkan penolakan yang disengaja. Sepanjang kitab Yeremia, kita melihat bagaimana raja-raja Yehuda, termasuk Zedekia, sering kali terpecah belah antara mengikuti bimbingan ilahi dan naluri politik mereka, atau bahkan dipengaruhi oleh nasihat para penasihat yang menyesatkan. Mereka lebih memilih jalan yang tampak lebih aman atau lebih strategis di mata manusia, daripada menundukkan diri pada kehendak Allah yang sering kali menuntut iman dan pengorbanan.
Ketidaktaatan ini memiliki konsekuensi yang mendalam. Yeremia 37:2 menjadi pengingat bahwa kemakmuran dan keberlangsungan sebuah bangsa tidak hanya bergantung pada kekuatan militer, kebijakan strategis, atau kecerdasan politik penguasanya, tetapi pada penundukan diri terhadap Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Ketika pemimpin menolak untuk mendengarkan suara Allah, ia tidak hanya mengabaikan kebenaran, tetapi juga menutup diri dari sumber hikmat dan kekuatan sejati yang dapat menuntunnya melewati badai krisis.
Kisah Zedekia adalah peringatan yang relevan bagi setiap zaman. Di tengah tantangan hidup yang kompleks, baik secara pribadi maupun kolektif, kecenderungan untuk mengabaikan suara hati nurani yang dibimbing oleh prinsip-prinsip ilahi sangatlah besar. Kebisingan dunia, tekanan dari berbagai arah, dan godaan untuk mencari solusi cepat atau jalan pintas sering kali membuat kita tuli terhadap bisikan kebenaran. Namun, Firman Tuhan dalam Yeremia 37:2 mengingatkan kita bahwa kesetiaan pada kebenaran, meskipun sulit, adalah kunci untuk menghadapi segala badai.
Mendengarkan dan menaati Tuhan bukanlah tanda kelemahan, melainkan sumber kekuatan terbesar. Ini adalah pilihan untuk mempercayai rencana-Nya yang lebih besar, meskipun terkadang tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh akal manusia. Ketaatan membawa ketenangan batin, kejernihan pikiran, dan akhirnya, berkat yang kekal. Sebaliknya, penolakan terhadap firman-Nya akan membawa kehancuran dan penyesalan, seperti yang dialami oleh bangsa Yehuda. Oleh karena itu, marilah kita terus membuka hati dan telinga untuk mendengarkan apa yang TUHAN firmankan, dan dengan segenap kekuatan kita, bertekad untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya.