"Kemudian raja Yoyakim, para panglimanya dan semua orang yang hadir di situ mendengar perkataan-perkataan itu, lalu raja mencari cara untuk membunuh Yeremia. Tetapi Uria mendengar perkataan itu, lalu ia takut, dan melarikan diri, lalu pergi ke Mesir."
Ayat Yeremia 38:11 menggambarkan sebuah momen krusial dalam kehidupan nabi Yeremia, di mana ia menghadapi ancaman serius dari pihak berwenang. Raja Yoyakim dan para pengikutnya merasa terancam oleh perkataan kenabian yang diucapkan Yeremia. Perkataan tersebut, yang kemungkinan besar berisi nubuat tentang malapetaka yang akan menimpa Yehuda karena dosa-dosa mereka, dianggap sebagai penghasutan dan merongrong kekuasaan raja. Reaksi pertama yang muncul adalah upaya untuk membungkam sang nabi, bahkan sampai mencari cara untuk membunuhnya. Ini adalah gambaran nyata dari bagaimana kebenaran yang tidak menyenangkan seringkali ditolak dan disambut dengan permusuhan oleh mereka yang berkuasa.
Di tengah situasi yang mencekam ini, muncul nama Uria, seorang nabi lain yang juga menyampaikan pesan dari Tuhan. Uria, mendengar ancaman yang ditujukan kepada Yeremia dan kemungkinan merasakan bahaya yang sama mengintai dirinya, memilih untuk mengambil tindakan drastis. Ia takut dan memutuskan untuk melarikan diri ke Mesir. Keputusan Uria ini menyoroti dua hal: pertama, betapa nyata dan menakutkan ancaman yang dihadapi para nabi pada masa itu; kedua, berbagai cara respons yang dapat diambil seseorang ketika dihadapkan pada kesulitan dan bahaya.
Dalam konteks ini, Yeremia 38:11 bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi juga menjadi sumber refleksi spiritual. Ayat ini mengingatkan kita bahwa di masa-masa sulit, di mana kebenaran mungkin tidak populer dan ancaman bisa datang dari mana saja, ada pilihan-pilihan yang harus dibuat. Yeremia tetap teguh pada panggilannya, meskipun menghadapi risiko besar. Sementara Uria memilih jalan keselamatan diri melalui pelarian. Keduanya mungkin memiliki motivasi masing-masing, namun ayat ini menjadi saksi bisu perjuangan para penyampai pesan Tuhan.
Kepercayaan di tengah kesulitan adalah tema yang kuat dalam Kitab Yeremia. Ayat ini, meskipun berfokus pada reaksi ketakutan dan pelarian, secara implisit juga menyoroti keteguhan Yeremia yang tetap berada di posnya, mengandalkan Tuhan meskipun menghadapi maut. Bagi kita yang membaca saat ini, ayat ini mengajak kita untuk merenungkan: bagaimana kita bereaksi ketika kebenaran diperhadapkan pada penolakan? Apakah kita cenderung mencari jalan aman seperti Uria, atau kita menemukan kekuatan untuk tetap teguh dalam keyakinan kita, seperti yang ditunjukkan oleh semangat Yeremia? Tuhan seringkali memberikan jalan keluar yang tak terduga bagi mereka yang beriman, bahkan dalam situasi yang paling gelap.
Pesan yang dapat dipetik adalah bahwa kepercayaan kepada Tuhan tidak selalu berarti terhindar dari kesulitan atau ancaman. Namun, dalam menghadapi segala sesuatu, kita dipanggil untuk mencari hikmat-Nya, mengandalkan kekuatan-Nya, dan tetap setia pada panggilan kita, apa pun konsekuensinya. Pilihan untuk melarikan diri bukanlah kesalahan mutlak, tetapi itu menunjukkan adanya ketakutan yang manusiawi. Yang terpenting adalah bagaimana kita mencari perlindungan dan tuntunan Tuhan di setiap langkah, bahkan ketika dunia di sekitar kita terasa begitu tidak bersahabat. Ayat ini mengingatkan kita akan kompleksitas keberanian, ketakutan, dan iman dalam menghadapi tantangan hidup.