Kisah Tragis di Mizpa Kebejatan dan Keputusasaan

Yeremia 41:6

"Lalu Ismael bin Netanya meratap dan menangis bersama-sama orang banyak itu di Mizpa, sambil meratap."

Kisah yang tercatat dalam Yeremia 41:6 membawa kita pada momen yang sangat kelam dalam sejarah bangsa Israel pasca-kehancuran Yerusalem oleh Babel. Peristiwa ini menggambarkan keputusasaan, kepedihan mendalam, dan sekaligus pengkhianatan yang mengerikan yang terjadi di Mizpa. Ayat ini menjadi pengantar untuk memahami tragedi yang sesungguhnya, di mana ratapan yang tulus berbalut dengan niat jahat.

Setelah Yerusalem jatuh dan sebagian besar penduduknya dibuang ke Babel, masih ada sisa-sisa orang yang tertinggal di tanah Yehuda. Mereka hidup dalam bayang-bayang kehancuran, merindukan masa lalu dan berharap pada pemulihan. Mizpa, sebuah kota yang signifikan secara historis dan spiritual, menjadi pusat bagi mereka yang tersisa. Di sinilah mereka berkumpul, mencoba untuk melanjutkan hidup di tengah puing-puing harapan.

Ketika Ismael bin Netanya datang ke Mizpa, kehadirannya awalnya disambut dengan kelegaan. Sebagaimana digambarkan dalam ayat tersebut, "Lalu Ismael bin Netanya meratap dan menangis bersama-sama orang banyak itu di Mizpa, sambil meratap." Tindakan meratap dan menangis ini adalah ekspresi kesedihan yang mendalam atas nasib bangsanya, atas kehancuran kota suci, dan atas hilangnya martabat mereka. Dalam konteks budaya saat itu, tangisan bersama adalah simbol solidaritas dan kesamaan duka. Orang-orang yang tersisa di Mizpa kemungkinan besar merasa terhibur melihat seorang pemimpin yang ikut merasakan kepedihan mereka.

Namun, ironi yang menghancurkan adalah bahwa tangisan Ismael ini bukanlah ungkapan hati yang tulus. Di balik tampilan kepedihan itu, tersembunyi rencana jahat. Ayat-ayat selanjutnya dalam pasal 41 menjelaskan dengan gamblang bahwa Ismael, atas perintah Baalis raja bani Amon, datang ke Mizpa dengan niat untuk membunuh Gedalya, gubernur yang ditunjuk oleh Babel untuk memerintah sisa-sisa bangsa Yehuda. Tujuan Baalis adalah untuk mengganggu kestabilan dan menciptakan kekacauan lebih lanjut.

Kejadian di Mizpa ini menjadi peringatan keras. Ia menunjukkan betapa mudahnya penampilan luar menipu. Tangisan yang seolah penuh empati justru menjadi kedok bagi kekejaman yang akan datang. Ismael menggunakan momen duka bersama sebagai kesempatan untuk menjalankan misinya. Setelah meratap bersama, ia kemudian membunuh Gedalya beserta orang-orang Yehuda dan orang Kasdim yang menyertainya. Bahkan, ia juga membawa serta para tawanan perempuan dan anak-anak dari Mizpa. Peristiwa ini adalah pengkhianatan tertinggi, sebuah tindakan biadab yang dilakukan di bawah selubung kesedihan.

Peristiwa ini mengajarkan kita untuk tidak mudah percaya pada penampilan luar. Kerap kali, apa yang terlihat di permukaan tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Dalam situasi sulit dan penuh keputusasaan, kewaspadaan sangatlah penting. Tangisan dan ratapan bisa menjadi senjata, sebuah taktik untuk memanipulasi dan melancarkan serangan. Kisah Yeremia 41:6 mengingatkan kita untuk berdoa memohon hikmat agar dapat membedakan ketulusan dari kepalsuan, dan kebenaran dari tipu daya. Pengkhianatan Ismael di Mizpa adalah noda kelam yang menjadi pengingat abadi tentang kerapuhan hati manusia ketika dikuasai oleh kebencian dan agenda tersembunyi.