Ayat pembuka dalam Yeremia pasal 43 ini menandai sebuah titik krusial dalam narasi pengungsian paksa dan ketidaktaatan bangsa Israel. Setelah melewati serangkaian peringatan kenabian yang keras, dan menyaksikan kehancuran Yerusalem di tangan Babel, umat Allah justru memilih untuk mengabaikan firman Tuhan yang terakhir disampaikan oleh nabi Yeremia. Perkataan yang tegas dan jelas dari Tuhan, melalui hamba-Nya, seharusnya menjadi pedoman bagi mereka, namun malahan menimbulkan reaksi yang berbeda.
Peristiwa ini terjadi setelah jatuhnya Yerusalem, ketika sisa-sisa penduduk yang selamat berkumpul. Yeremia, yang diperintahkan oleh Tuhan, menyampaikan pesan terakhir yang seharusnya membawa mereka pada jalan keselamatan dan pemulihan. Namun, alih-alih mendengarkan dan mematuhi, para pemimpin dan rakyat yang tersisa justru menolak kebenaran yang disampaikan. Mereka lebih memilih untuk mengikuti kebijaksanaan manusiawi mereka yang terbatas dan ketakutan yang melanda hati mereka.
Ketakutan adalah musuh yang sangat licik. Dalam situasi genting seperti yang dihadapi umat Israel saat itu, ketakutan dapat mengaburkan akal sehat dan membuat seseorang berpaling dari Tuhan. Mereka melihat ancaman dari bangsa Mesir, tempat mereka berniat mengungsi, dan mungkin merasa bahwa perlindungan dari manusia lebih nyata daripada janji Tuhan. Inilah momen ketika iman diuji dengan keras. Apakah mereka akan mempercayai firman Tuhan yang telah terbukti kebenarannya melalui nubuat-nubuat yang tergenapi, ataukah mereka akan menyerah pada desakan emosi dan logika duniawi?
Ayat ini menggarisbawahi betapa berbahayanya ketika manusia memilih untuk mengabaikan firman Tuhan, bahkan setelah menerima peringatan yang berulang kali. Perintah Tuhan bukanlah beban yang tidak perlu, melainkan petunjuk yang membawa kehidupan. Namun, ketika hati tertutup oleh kesombongan, ketidakpercayaan, atau rasa takut yang berlebihan, firman tersebut akan terbentur pada tembok penolakan. Akibat dari penolakan ini seringkali adalah konsekuensi yang lebih buruk, seperti yang digambarkan dalam pasal-pasal selanjutnya dari kitab Yeremia.
Kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap firman yang disampaikan melalui para hamba Tuhan. Meskipun seringkali firman itu menantang, bahkan terasa sulit untuk diterima, namun di dalamnya terkandung kuasa ilahi dan kehendak terbaik dari Sang Pencipta. Yeremia 43:1 menjadi bukti bahwa ketidaktaatan yang berasal dari penolakan firman Tuhan dapat membawa pada jalan yang salah dan penuh kesesakan, sementara ketaatan, sekecil apapun, akan selalu membuka pintu bagi campur tangan dan anugerah-Nya.
Kisah Yeremia 43:1 bukan hanya catatan sejarah belaka. Ini adalah pelajaran abadi tentang sifat manusia dan pentingnya ketaatan ilahi. Di tengah hiruk pikuk dunia modern yang penuh dengan berbagai suara dan informasi, kita pun seringkali dihadapkan pada pilihan untuk mendengarkan suara Tuhan atau suara dunia yang lebih menarik hati. Memilih untuk mendengar dan taat adalah fondasi teguh yang akan menopang kita, bahkan ketika badai kehidupan menerpa, sama seperti yang seharusnya terjadi pada umat Israel yang memilih untuk mengabaikan firman terakhir Yeremia.