Kitab Yeremia mencatat seruan kenabian yang keras terhadap dosa dan kemunafikan umat Israel, khususnya di masa-masa menjelang pembuangan ke Babel. Ayat Yeremia 5:31 ini menyoroti sebuah realitas yang memilukan: baik para nabi palsu maupun para pemimpin rohani (imam) telah menyimpang dari jalan kebenaran Tuhan. Mereka tidak lagi berfungsi sebagai gembala yang setia, melainkan telah menjadikan otoritas mereka sebagai alat untuk keuntungan pribadi.
"Mereka mengajar dengan suap" menunjukkan bahwa ajaran yang disampaikan tidak lagi didasarkan pada kebenaran ilahi, melainkan dipengaruhi oleh imbalan materi. Ini berarti pesan yang diterima umat adalah pesan yang telah dibeli dan dibayar, bukan Firman Tuhan yang murni. Suap merusak integritas dan objektivitas, menjadikan pengajaran sebagai komoditas yang diperdagangkan. Di sisi lain, "para imam memerintah menurut upah" menegaskan bahwa kepemimpinan spiritual mereka telah terdegradasi menjadi urusan transaksi. Mereka menjalankan tugas mereka bukan karena panggilan Tuhan dan kerinduan untuk melayani umat-Nya, tetapi demi mendapatkan imbalan.
Frasa yang paling krusial dalam ayat ini adalah "...namun mereka tidak mau berteladan TUHAN." Ini adalah inti dari pemberontakan mereka. Meskipun memiliki otoritas dan peran yang seharusnya membawa umat lebih dekat kepada Tuhan, mereka secara sadar memilih untuk tidak mengikuti teladan Tuhan, tidak hidup dalam ketaatan kepada-Nya, dan tidak mengutamakan kehendak-Nya. Pilihan ini menghasilkan kesesatan yang meluas, di mana keadilan dan kebenaran tergantikan oleh kepentingan pribadi dan korupsi.
Simbol hati yang terpecah dan tertolong oleh cahaya ilahi.
Ayat Yeremia 5:31 memiliki resonansi yang kuat bahkan hingga saat ini. Dalam setiap tatanan masyarakat, baik di lingkup keagamaan, politik, bisnis, maupun sosial, selalu ada potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Ketika para pemimpin, yang seharusnya menjadi teladan kebenaran dan integritas, justru tunduk pada godaan materi atau kepentingan pribadi, dampaknya bisa sangat merusak. Ajaran menjadi bias, keputusan menjadi tidak adil, dan kepercayaan publik terkikis.
Kesenjangan antara ajaran dan perbuatan para pemimpin seringkali menjadi sumber keprihatinan. Umat diajak untuk mengoreksi, memfilter, dan membandingkan setiap ajaran serta tindakan pemimpin dengan standar kebenaran yang tidak berubah, yaitu Firman Tuhan. Penting untuk selalu bertanya, "Apakah ini sesuai dengan teladan Tuhan?" dan "Apakah ini membawa kemuliaan bagi Dia?"
Lebih dari sekadar kritik terhadap para pemimpin yang salah, Yeremia 5:31 juga menjadi panggilan introspeksi bagi setiap individu. Apakah kita sendiri telah memilih untuk berteladan Tuhan dalam segala aspek kehidupan kita? Apakah motivasi kita dalam bertindak selalu luhur dan sesuai dengan kehendak-Nya, ataukah kita juga tergelincir pada kesenangan sesaat dan keuntungan pribadi?
Pesan Yeremia ini mengingatkan kita bahwa fondasi yang kokoh bagi sebuah masyarakat yang sehat dan spiritual adalah ketaatan yang tulus kepada Tuhan dan penolakan terhadap segala bentuk korupsi, baik yang terselubung maupun yang terang-terangan. Kebenaran ilahi harus menjadi kompas utama, bukan keuntungan materi atau kekuasaan sesaat. Hanya dengan berteladan Tuhan, kita dapat menemukan arah yang benar dan menjalani kehidupan yang bermakna.