"Maka apabila Tuhan telah selesai melakukan segala perbuatan-Nya di gunung Sion dan di Yerusalem, Aku akan menghukum buah kesombongan raja Asyur dan keangkuhan congkak daripada orang yang mengangkat muka."
Ayat dari Kitab Yesaya ini, khususnya pasal 10 ayat 12, menyampaikan pesan yang kuat tentang keadilan ilahi dan konsekuensi dari kesombongan. Di tengah gejolak politik dan ancaman militer pada masanya, Tuhan melalui nabi Yesaya menegaskan bahwa Ia tidak akan tinggal diam melihat penindasan dan keangkuhan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, bahkan ketika mereka merasa sangat berkuasa. Ayat ini berfungsi sebagai pengingat bahwa kekuasaan manusia, seberapa pun besarnya, pada akhirnya berada di bawah kendali Tuhan Yang Maha Kuasa.
Inti dari firman Tuhan ini adalah seruan kepada umat-Nya, dan juga peringatan kepada bangsa-bangsa yang sombong, untuk melakukan introspeksi diri. Tuhan akan menghakimi "buah kesombongan" dan "keangkuhan congkak". Ini berarti bahwa tindakan yang timbul dari hati yang angkuh, sikap merendahkan orang lain, dan rasa superioritas yang tidak berdasar, semua itu akan menerima konsekuensi ilahi. Tuhan melihat bukan hanya tindakan lahiriah, tetapi juga motivasi di baliknya.
Dalam konteks modern, ayat ini relevan bagi individu, komunitas, maupun negara. Kesombongan dapat muncul dalam berbagai bentuk: kesombongan intelektual, kesombongan materi, kesombongan kekuasaan, atau bahkan kesombongan spiritual. Ketika seseorang atau kelompok merasa bahwa mereka tidak membutuhkan Tuhan, atau bahwa pencapaian mereka sepenuhnya hasil dari kekuatan mereka sendiri, mereka sedang berjalan di jalur yang berbahaya. Tuhan dalam kemahatahuan-Nya, melihat dan mengetahui segala sesuatu. Ia akan membiarkan kesombongan tersebut berkembang sampai pada titik di mana keadilan-Nya harus ditegakkan.
Perintah untuk menghukum raja Asyur dan keangkuhan congkak mereka bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan sebuah prinsip ilahi yang berlaku sepanjang masa. Ini mengajarkan bahwa tidak ada kekuatan manusia yang dapat bertahan selamanya jika dibangun di atas dasar kesombongan dan penindasan. Sebaliknya, kerendahan hati, belas kasih, dan pengakuan akan kedaulatan Tuhan adalah fondasi yang kokoh. Ayat ini mengundang kita untuk merenungkan sikap hati kita sendiri. Apakah kita cenderung angkuh, meremehkan orang lain, atau merasa diri lebih baik? Tuhan memanggil kita untuk menundukkan hati kita, mengakui ketergantungan kita pada-Nya, dan memperlakukan sesama dengan hormat dan kasih. Dengan demikian, kita dapat menghindari murka ilahi dan hidup dalam kedamaian serta kebenaran.