Maka kata Hizkia kepada Yesaya: "Baiklah firman TUHAN yang kauucapkan itu baik adanya." Pikirnya pula: "Asal ada damai sejahtera dan keamanan selama hidupku."
Ayat Yesaya 39:8 mencatat sebuah momen penting dalam sejarah kerajaan Yehuda, di mana Raja Hizkia memberikan sebuah respons yang sarat makna setelah menerima nubuat dari Nabi Yesaya. Nubuat tersebut, yang berasal dari percakapannya dengan utusan dari Babel, membawa kabar tentang hukuman yang akan datang atas Yehuda karena keangkuhan Hizkia. Namun, di tengah ancaman dan konsekuensi tersebut, tanggapan Hizkia justru menggarisbawahi sebuah pola pemikiran yang seringkali melekat pada diri manusia, bahkan bagi mereka yang dianggap saleh.
Gambar SVG abstrak dengan gradasi warna cerah, melambangkan harapan dan realitas yang saling bersinggungan, dengan teks yang mengingatkan pada makna ayat.
Ungkapan "Asal ada damai sejahtera dan keamanan selama hidupku" menunjukkan sebuah fokus yang sangat pribadi dan temporal. Hizkia, meskipun mengakui kebaikan firman Tuhan yang disampaikan, menempatkan prioritas utamanya pada kenyamanan dan stabilitas dirinya sendiri di masa kini. Ia tampaknya lebih peduli pada bagaimana nasib Yehuda dan keluarganya akan terpengaruh selama ia masih berkuasa, daripada mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari dosa dan ketidaktaatan yang telah diakui oleh nabinya.
Respons ini mengajarkan kita tentang godaan untuk terjebak dalam kenyamanan sesaat. Seringkali, kita merasa cukup puas selama kebutuhan dasar terpenuhi dan tidak ada ancaman langsung yang datang. Namun, iman yang sejati tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi juga pada kedaulatan Allah dan kehendak-Nya yang abadi. Sejarah telah membuktikan bahwa tindakan dan keputusan kita memiliki dampak yang bergema jauh melampaui masa hidup kita, memengaruhi generasi mendatang.
Menghadapi firman Tuhan, baik yang membawa teguran maupun janji, seharusnya memicu refleksi yang lebih mendalam. Pertanyaannya bukan hanya tentang "apa yang akan terjadi padaku?", tetapi juga "bagaimana saya dapat hidup seturut kehendak Tuhan, demi kemuliaan-Nya dan kebaikan sesama, sekarang dan di masa depan?". Respons Hizkia menjadi pengingat yang kuat agar kita tidak hanya mencari "damai sejahtera dan keamanan selama hidupku", tetapi juga untuk membangun fondasi yang kokoh bagi masa depan yang sesuai dengan rencana Allah. Ini berarti belajar dari kesalahan, hidup dalam ketaatan, dan percaya bahwa Tuhan bekerja untuk kebaikan umat-Nya dalam segala keadaan, bahkan ketika itu menuntut pengorbanan atau perubahan yang tidak nyaman di masa kini.
Oleh karena itu, merenungkan Yesaya 39:8 bukan sekadar melihat catatan sejarah, tetapi juga introspeksi diri. Apakah kita juga cenderung mengutamakan kenyamanan pribadi di atas panggilan yang lebih besar? Apakah kita siap untuk memikirkan dampak jangka panjang dari iman kita, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang-orang yang akan datang setelah kita? Ayat ini menantang kita untuk memperluas pandangan kita, melampaui batasan waktu pribadi, dan berpegang teguh pada janji-janji dan kebenaran Allah yang abadi.