"Ia membakar separuh untuk api perapian, dan membakar separuh lagi untuk membuat roti; juga ia membuat dewa dan menyembahnya, membentuknya menjadi patung, lalu sujud kepadanya."
Ayat ini dari Kitab Yesaya, salah satu kitab kenabian terpenting dalam Perjanjian Lama, menyoroti sebuah perilaku yang sangat kontradiktif: penggunaan materi yang sama untuk dua tujuan yang sangat berbeda. Di satu sisi, kayu digunakan untuk kebutuhan dasar manusia seperti menghangatkan diri dan memasak makanan. Ini adalah penggunaan yang pragmatis dan vital untuk kelangsungan hidup.
Namun, di sisi lain, separuh dari kayu yang sama digunakan untuk membuat objek pemujaan, patung dewa yang kemudian disembah dan ditundukkan. Perintah ilahi yang diterima oleh umat Israel sering kali menekankan pentingnya menyembah hanya kepada Tuhan yang Maha Esa. Menggambarkan Tuhan atau membuat patung-Nya adalah pelanggaran serius terhadap perintah ini.
Kontras ini bukan hanya sekadar cerita tentang penggunaan kayu. Lebih dari itu, ayat ini merupakan kritik tajam terhadap kebodohan dan kesesatan manusia. Bagaimana mungkin seseorang menggunakan anugerah Tuhan, yang diberikan untuk menopang kehidupan, justru untuk membuat sesuatu yang ilahiah dan menyembahnya? Ini adalah bentuk penolakan terhadap sumber kebenaran dan kehidupan yang sebenarnya, dan malah berpaling pada ciptaan yang tidak berdaya.
Yesaya sering kali menggunakan perumpamaan untuk menggambarkan kesesatan umatnya. Dalam konteks ini, pembuat patung digambarkan sebagai sosok yang sangat bodoh. Ia menggunakan api untuk menghangatkan diri, merasakan panasnya, dan menikmati hasil masakannya. Namun, ketika sisa kayu yang sama diubah menjadi patung, ia tunduk dan menyembahnya, seolah-olah patung itu memiliki kekuatan untuk menyelamatkannya. Ini adalah ironi yang mendalam.
Ayat ini mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur atas berkat-berkat yang diberikan, baik yang besar maupun yang kecil. Penting juga untuk mengenali sumber sejati dari segala kebaikan. Apakah kita cenderung menggunakan karunia Tuhan hanya untuk kepuasan diri sendiri, ataukah kita juga menggunakan anugerah tersebut untuk menghormati-Nya dan melayani sesama? Perenungan atas Yesaya 44:15 mengajak kita untuk memeriksa hati dan prioritas hidup kita, agar kita tidak jatuh dalam kebodohan yang sama, yaitu menyembah berhala modern dalam bentuk apa pun, entah itu materi, kekuasaan, atau diri sendiri.
Dalam dunia yang serba cepat dan sering kali materialistis, ayat ini relevan sebagai pengingat bahwa sumber hikmat dan kekuatan sejati bukanlah pada ciptaan, melainkan pada Sang Pencipta. Ia adalah sumber kehidupan, kehangatan, dan pemenuhan yang tak terbatas. Jangan sampai kita, seperti pembuat patung dalam ayat ini, menyia-nyiakan anugerah-Nya dengan berpaling kepada sesuatu yang justru kita ciptakan sendiri.