Ayat kunci dari Kitab Yesaya pasal 9, ayat 13, menyajikan sebuah realitas pahit tentang kondisi umat pilihan di zaman nabi Yesaya. Pernyataan ini menggambarkan sebuah siklus ketidaktaatan dan keteguhan hati yang menolak untuk belajar dari pengalaman pahit. Bangsa Israel, meskipun berulang kali menghadapi pukulan dan penderitaan akibat dosa-dosa mereka, tetap enggan untuk beralih kembali kepada Allah, Sang sumber kekuatan dan penopang mereka.
Frasa "tidak berbalik kepada Dia yang memukulnya" menyiratkan sebuah respons yang kontradiktif. Secara logika, ketika seseorang dipukul atau disakiti, naluri pertama adalah menghindari sumber rasa sakit itu, atau setidaknya mencari tahu mengapa itu terjadi dan bagaimana mencegahnya di masa depan. Namun, dalam kasus Israel, pukulan-pukulan yang mereka terima, yang seringkali merupakan konsekuensi langsung dari penolakan mereka terhadap firman Tuhan dan penyembahan berhala, justru tidak membawa mereka kepada pertobatan.
Lebih jauh lagi, ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa "TUHAN semesta alam tidak mereka cari." Ini bukan sekadar ketidakpedulian pasif, melainkan sebuah penolakan aktif untuk melibatkan diri dengan Allah. "Mencari TUHAN" bukan hanya tentang mencari pertolongan saat kesusahan, tetapi juga tentang mencari kehendak-Nya, hidup sesuai dengan perintah-Nya, dan membangun hubungan yang intim. Umat ini, dalam kesesatannya, tampaknya lebih memilih jalan mereka sendiri, mengandalkan kekuatan manusiawi, aliansi politik yang rapuh, atau bahkan praktik-praktik penyembahan berhala yang menyesatkan.
Yesaya, sebagai seorang nabi, diutus untuk menyampaikan pesan peringatan dan penghakiman, tetapi juga pesan pengharapan dan pemulihan. Ayat 9:13 ini seringkali ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, di mana Yesaya menyoroti kebobrokan moral dan rohani yang melanda kerajaan utara (Israel) dan kerajaan selatan (Yehuda). Pukulan yang dimaksud bisa merujuk pada berbagai bentuk hukuman ilahi, termasuk serangan dari bangsa-bangsa asing, bencana alam, atau kemiskinan yang meluas. Semuanya adalah teguran agar mereka kembali kepada Tuhan.
Namun, di tengah gambaran kegelapan ini, kitab Yesaya juga memuat janji tentang kedatangan Mesias, yang dikenal sebagai "Pangeran Damai," "Bapa Kekal," dan "Penasihat Ajaib." Kelahiran-Nya di pasal 9 diantisipasi sebagai cahaya yang terang bagi mereka yang hidup dalam kegelapan. Janji ini memberikan kontras yang kuat dengan kondisi ketidaktaatan yang digambarkan dalam ayat 13. Meskipun umat menolak untuk mencari Tuhan, Tuhan sendiri yang akan bertindak untuk membawa pemulihan. Ini adalah bukti kasih karunia-Nya yang luar biasa, yang tidak bergantung pada kelayakan umat-Nya.
Pesan Yesaya 9:13 tetap relevan hingga hari ini. Ia mengingatkan kita akan bahaya ketidaktaatan yang keras kepala dan godaan untuk mengabaikan suara Tuhan, terutama ketika kita merasa nyaman atau justru ketika kita sedang dalam kesulitan. Pencarian akan Tuhan seharusnya menjadi prioritas utama dalam hidup kita, bukan hanya sebagai respons darurat, tetapi sebagai gaya hidup yang mendalam, yang mengarahkan setiap langkah dan keputusan kita. Tanpa berbalik kepada-Nya dan mencari hadirat-Nya, kita berisiko terus menerus berjalan dalam kegelapan dan mengalami pukulan demi pukulan yang tidak mendatangkan pelajaran berharga.
Ilustrasi visual yang menggambarkan transisi dari kegelapan menuju terang, melambangkan harapan dan pemulihan.
Dalam terang Janji Mesias yang mengikuti bagian ini, kita melihat bahwa penolakan umat Israel bukan akhir dari segalanya. Tuhan yang berdaulat, meskipun menghukum ketidaktaatan, juga menyediakan jalan keluar. Kisah Yesaya 9:13 mengajarkan pentingnya refleksi diri, pertobatan yang tulus, dan ketergantungan yang teguh kepada Tuhan, agar kita tidak terus menerus tersesat dalam siklus kegagalan yang sama.