Yohanes 18:39 - Kebenaran dan Pembebasan

"Tetapi kamu biasa mengatakan kepada-Ku: Jika ia kami lepaskan, maka ia bukan dari pada-Mu. Padahal kalau begitu, Aku adalah seorang pencuri. Jika demikian, Aku pasti telah mencuri."

Kebenaran

Ayat Yohanes 18:39 merupakan dialog krusial antara Yesus Kristus dan Pontius Pilatus, gubernur Romawi di Yudea. Dalam konteks persidangan yang penuh ketegangan, Pilatus berhadapan dengan tuntutan orang Yahudi yang mendesak agar Yesus dihukum mati. Pernyataan ini muncul sebagai respons Yesus terhadap argumen Pilatus yang mencoba membenarkan tindakannya melepaskan orang lain pada hari Paskah, namun justru menolak pembebasan diri-Nya.

Inti dari perkataan Yesus di sini terletak pada penekanan-Nya mengenai kebenaran versus persepsi atau tuduhan yang tidak berdasar. Orang-orang Yahudi menuduh Yesus membuat diri-Nya setara dengan Allah, sebuah klaim yang mereka anggap sebagai penghujatan dan alasan kuat untuk murka. Mereka menggunakan logika: jika Yesus benar-benar berasal dari Allah, maka Dia seharusnya dibebaskan, bukan disalibkan. Namun, jika Dia tidak berasal dari Allah, mengapa orang-orang ini begitu gigih menuntut kematian-Nya?

Yesus membalikkan argumen tersebut dengan cerdik. Dia menunjukkan bahwa jika orang-orang menolak-Nya dan menuntut hukuman mati, sementara secara bersamaan menyiratkan bahwa Dia tidak memiliki otoritas ilahi, maka tindakan mereka sendiri menjadi kontradiktif. Pernyataan "Padahal kalau begitu, Aku adalah seorang pencuri. Jika demikian, Aku pasti telah mencuri" adalah sebuah sarkasme ilahi. Yesus menyindir bahwa jika Dia benar-benar "bukan dari pada-Mu" (dalam arti tidak memiliki kebenaran atau misi ilahi), maka seharusnya tidak ada alasan kuat bagi orang Yahudi untuk begitu terganggu dengan-Nya, kecuali jika Dia adalah seorang penjahat yang telah melakukan kesalahan, seperti mencuri. Namun, tidak ada bukti atau tuduhan pencurian terhadap Yesus.

Lebih dari sekadar retorika, perkataan ini menyentuh esensi misi Yesus. Dia datang ke dunia untuk menyatakan kebenaran Allah, untuk membebaskan umat manusia dari belenggu dosa dan kematian. Narasi ini menyoroti bagaimana kebenaran seringkali berbenturan dengan kebohongan, kebencian, dan kesalahpahaman. Yesus, yang adalah Kebenaran itu sendiri, menghadapi penolakan dari mereka yang lebih memilih kegelapan.

Dialog ini juga mengungkapkan kegelisahan Pilatus. Meskipun ia memegang kuasa, ia tidak berdaya menghadapi desakan massa. Dia berusaha mencari jalan keluar yang meminimalkan masalah bagi dirinya sendiri, namun justru terperangkap dalam dilema moral dan politik. Yesus, sebaliknya, dengan tenang memaparkan kebenaran tentang situasi tersebut, menunjukkan bahwa penolakan terhadap-Nya adalah penolakan terhadap kebenaran ilahi itu sendiri.

Pada akhirnya, Yohanes 18:39 mengingatkan kita bahwa memahami kebenaran adalah sebuah proses. Yesus tidak meminta Pilatus untuk percaya pada-Nya secara membabi buta, melainkan menyoroti kontradiksi dalam argumen para penuduh-Nya. Pernyataan ini adalah bagian dari pengajaran Yesus yang lebih luas tentang bagaimana Dia adalah "jalan dan kebenaran dan hidup" (Yohanes 14:6). Kebenaran yang dibawa Yesus bukanlah sekadar fakta, melainkan sebuah realitas yang membebaskan dan mengubah kehidupan. Di tengah tekanan dan ketidakadilan, Yesus tetap berpegang pada kebenaran-Nya, sebuah teladan yang relevan hingga kini bagi setiap orang yang mencari pencerahan dan pembebasan sejati.