"Tetapi Allah berfirman: "Apakah patut engkau menjadi marah karena hal tunas pohon kersen itu?"
Kisah Nabi Yunus dalam Alkitab, khususnya pasal 4 ayat 7, menyajikan sebuah pelajaran mendalam tentang belas kasih Allah yang melampaui pemahaman manusia. Setelah menyampaikan pesan peringatan kepada kota Niniwe dan menyaksikan pertobatan seluruh penduduknya, Yunus justru merasa murka. Kemarahannya bukan karena Allah tidak menghukum kota yang berdosa, melainkan karena Allah justru menunjukkan belas kasih dan membatalkan hukuman yang telah diancamkan. Keadaan ini semakin diperparah ketika Allah menumbuhkan sebuah pohon kersen (atau labu) yang rindang untuk menaungi Yunus, namun kemudian memerintahkan ulat untuk merusaknya, lalu meniupkan angin timur yang panas. Pohon itu layu, dan Yunus kembali marah besar.
Di sinilah Allah mengajukan pertanyaan retoris kepada Yunus: "Apakah patut engkau menjadi marah karena hal tunas pohon kersen itu?" Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah ajakan untuk merenung dan melihat dari sudut pandang ilahi. Yunus merasa berhak marah atas matinya pohon yang memberinya keteduhan, sesuatu yang bagi Yunus bernilai lebih daripada ribuan penduduk Niniwe yang ia anggap pantas binasa. Ia melihat kepentingan dirinya sendiri di atas segalanya, tanpa menyadari betapa besar dan luasnya kasih dan belas kasih Allah.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa seringkali, perspektif manusia terhadap keadilan dan kasih memiliki keterbatasan. Kita cenderung mengukur kebaikan berdasarkan apa yang menguntungkan atau sesuai dengan keinginan kita. Namun, Allah memiliki pandangan yang jauh lebih luas, mencakup segala ciptaan-Nya. Kasih setia Allah tidak hanya tertuju pada umat pilihan-Nya, tetapi juga pada seluruh makhluk-Nya, termasuk mereka yang dianggap "musuh" atau "layak dihukum" oleh manusia.
Pohon kersen yang tumbuh seketika dan mati seketika itu menjadi simbol yang kuat. Ia menggambarkan betapa rapuhnya dan sementara hal-hal duniawi yang seringkali kita genggam erat. Sementara itu, kasih setia Allah adalah sesuatu yang kekal, tak tergoyahkan, dan selalu ada, bahkan ketika kita tidak menyadarinya atau tidak pantas menerimanya. Kisah Yunus 4:7 mendorong kita untuk meniru sifat Allah, yaitu memiliki belas kasih, pengampunan, dan kepedulian terhadap sesama, tanpa memandang latar belakang atau perbuatan mereka. Ini adalah tantangan untuk melepaskan egoisme dan memperluas hati kita agar sesuai dengan hati Allah yang penuh kasih tak terhingga.