"Katakanlah kepada seluruh rakyat negeri dan kepada para imam: 'Apabila kamu berpuasa dalam bulan kelima dan bulan ketujuh, selama tujuh puluh tahun ini, bukankah kamu berpuasa untuk Aku?"
Dalam Kitab Zakharia, nabi menyampaikan pesan-pesan penting dari Tuhan kepada umat-Nya yang baru saja kembali dari pembuangan di Babel. Bagian ini, khususnya pasal 7 ayat 5, menyoroti pertanyaan yang diajukan oleh perwakilan umat kepada para imam tentang kelanjutan tradisi puasa. Puasa-puasa ini telah dijalankan selama bertahun-tahun, menandai masa-masa kesedihan dan penyesalan atas dosa-dosa nenek moyang mereka serta dampak kehancuran yang ditimbulkan. Namun, di balik pertanyaan tersebut, terkandung makna yang lebih dalam mengenai esensi dari ibadah dan ketaatan kepada Tuhan.
Tuhan, melalui nabi Zakharia, memberikan respons yang menyingkapkan kekecewaan-Nya. Pertanyaan "bukankah kamu berpuasa untuk Aku?" bukanlah sekadar konfirmasi, melainkan sebuah teguran halus yang mengarah pada inti permasalahan. Tuhan tidak sekadar mencari pemenuhan ritual semata. Kehidupan rohani yang sejati tidak diukur dari seberapa sering seseorang berpuasa, melainkan dari hati yang tulus, keadilan yang ditegakkan, belas kasihan yang ditunjukkan, dan kasih terhadap sesama. Puasa yang dilakukan tanpa diiringi perubahan karakter dan tindakan yang mencerminkan kehendak Tuhan hanyalah sebuah rutinitas kosong yang tidak bermakna di mata Sang Pencipta.
Pada masa itu, bangsa Israel terperosok dalam kesibukan melakukan upacara keagamaan, termasuk puasa, tanpa menyadari bahwa tindakan tersebut tidak lagi selaras dengan tuntutan keadilan dan kemanusiaan. Tuhan menginginkan ibadah yang otentik, yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Keadilan bagi yang tertindas, bantuan bagi yang membutuhkan, dan kasih sayang bagi sesama adalah persembahan yang lebih berkenan di hadapan-Nya. Puasa yang sesungguhnya adalah ketika hati kita merindukan kebaikan, bukan sekadar menahan lapar dan haus.
Pesan Zakharia 7:5 ini memiliki relevansi yang abadi bagi kita di zaman modern. Seiring waktu, ritual dan tradisi keagamaan dapat berubah, namun prinsip dasar dari hubungan yang benar dengan Tuhan tetap sama. Ibadah yang bermakna bukanlah tentang mengikuti berbagai aturan atau melakukan serangkaian tindakan keagamaan yang terlihat saleh di permukaan, melainkan tentang bagaimana hati kita merespons kasih dan keadilan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita. Apakah kita berpuasa dari keserakahan, dari kebohongan, dari ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain? Itulah puasa yang sesungguhnya.
Tuhan menginginkan kita untuk menjalani kehidupan yang mencerminkan karakter-Nya. Keadilan sosial, empati, dan pelayanan kepada sesama adalah bentuk-bentuk ibadah yang sangat dihargai oleh-Nya. Ketika kita mengutamakan perbuatan kasih dan kebaikan, kita tidak hanya memenuhi tuntutan spiritual, tetapi juga membangun komunitas yang lebih baik dan lebih adil. Pesan Zakharia 7:5 mengajak kita untuk merefleksikan kembali motivasi di balik setiap tindakan religius kita dan memastikan bahwa tindakan tersebut benar-benar dipersembahkan kepada Tuhan dengan hati yang tulus dan penuh kasih.