Ayat dari Kitab Zakharia pasal 7 ayat 6 ini membangkitkan refleksi mendalam tentang motivasi di balik tindakan kita, terutama yang berkaitan dengan ibadah dan persembahan. Dalam konteks sejarahnya, umat Tuhan sedang dalam masa pemulihan setelah pembuangan di Babel. Mereka bertanya kepada para nabi, apakah puasa dan ratapan yang mereka lakukan selama ini bermakna di hadapan Tuhan.
Tuhan melalui Zakharia mengingatkan bahwa ritual keagamaan semata tanpa disertai hati yang tulus dan tindakan kasih serta keadilan adalah sia-sia. Pertanyaan retoris dalam ayat ini – "bukankah kamu makan dan minum untuk dirimu sendiri?" – secara tajam menyindir bahwa banyak dari ibadah mereka dilakukan demi kepuasan diri, tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain atau kehendak Tuhan yang sesungguhnya.
Makna ayat ini melampaui konteks kuno dan tetap relevan bagi kehidupan modern. Seringkali, kita terjebak dalam rutinitas ibadah tanpa menggali lebih dalam esensinya. Doa yang kita panjatkan, persembahan yang kita berikan, atau pelayanan yang kita lakukan, bisa saja menjadi sekadar formalitas jika tidak didasari oleh kasih kepada Tuhan dan sesama.
Tuhan menginginkan hati yang bersih dan tindakan yang mencerminkan kasih-Nya. Ia tidak hanya peduli pada seberapa sering kita datang ke gereja atau seberapa banyak yang kita berikan, tetapi lebih pada bagaimana sikap hati kita dan bagaimana kita memperlakukan orang-orang di sekitar kita. Ayat-ayat lain dalam Zakharia 7 dan 8 menekankan pentingnya menegakkan keadilan, menunjukkan kasih dan belas kasihan, serta berbicara jujur satu sama lain.
Jadi, ketika kita makan, minum, atau melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk dalam ibadah, penting untuk bertanya pada diri sendiri: apa motivasi saya? Apakah saya melakukannya untuk diri saya sendiri, untuk dipuji orang lain, atau benar-benar untuk memuliakan Tuhan dan membawa berkat bagi dunia? Memahami Zakharia 7:6 adalah undangan untuk menyelaraskan tindakan lahiriah kita dengan kebenaran batiniah, sehingga setiap aspek kehidupan kita, termasuk yang terkecil sekalipun, dapat menjadi persembahan yang berkenan di hadapan Tuhan.
Ini bukan berarti ibadah formal itu tidak penting. Sebaliknya, ibadah formal menjadi lebih bermakna ketika ia memperkuat dan menjadi ekspresi dari kehidupan yang saleh dan penuh kasih di luar konteks ibadah itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan kita sehari-hari, di mana pun kita berada dan apa pun yang kita lakukan, dapat menjadi kesaksian yang hidup tentang iman kita.