Yerobeam memperkuat Sikhem di pegunungan Efraim dan menetap di sana; ia keluar dari sana, lalu mendirikan Pnuel.
Ayat 1 Raja-raja 12:25 mencatat sebuah momen krusial dalam sejarah Kerajaan Israel kuno. Setelah memecah belah kerajaan bersatu di bawah pemerintahan Salomo, bangsa Israel terbagi menjadi dua: Kerajaan Yehuda di selatan yang setia kepada raja dari garis keturunan Daud, dan Kerajaan Israel di utara yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Samaria. Tokoh sentral dalam pemisahan ini adalah Yerobeam bin Nebat, seorang tokoh yang sebelumnya telah diidentifikasi oleh nabi Ahia sebagai calon raja atas sepuluh suku Israel.
Dalam ayat ini, Yerobeam mengambil langkah strategis untuk mengonsolidasikan kekuasaannya di Kerajaan Utara. Ia memutuskan untuk memperkuat kota Sikhem yang terletak di pegunungan Efraim. Sikhem adalah kota kuno dengan sejarah panjang dan signifikansi geografis yang penting, menjadikannya lokasi yang ideal untuk pusat pemerintahan. Yerobeam tidak hanya menetap di sana, tetapi juga secara aktif membangun dan memperkuat pertahanannya.
Lebih lanjut, Yerobeam tidak berhenti di Sikhem. Ia melanjutkan usahanya untuk membangun dan mendirikan kota lain yang dikenal sebagai Pnuel. Nama Pnuel sendiri memiliki makna yang mendalam dalam tradisi Israel, merujuk pada pertemuan Yakub dengan Allah di tepi Sungai Yabok. Pendirian kota baru ini menandakan ambisi Yerobeam untuk menciptakan pusat-pusat kekuasaan yang independen dari Yehuda dan Yerusalem, yang merupakan simbol kekuasaan dan agama bagi Kerajaan Selatan.
Keputusan Yerobeam untuk membangun dan memperkuat Sikhem serta mendirikan Pnuel merupakan cerminan dari usahanya untuk melegitimasi pemerintahannya dan membangun identitas politik yang berbeda bagi Kerajaan Israel Utara. Langkah ini bukan hanya sekadar pembangunan fisik, tetapi juga merupakan pernyataan politik dan agama yang signifikan. Dengan membangun pusat-pusat kekuasaan baru, Yerobeam secara implisit menantang otoritas Yerusalem dan Bait Allah di sana. Tindakan ini kemudian akan mengarah pada praktik-praktik keagamaan yang menyimpang dari ajaran Taurat, seperti mendirikan patung anak lembu di Betel dan Dan, demi mencegah rakyatnya kembali ke Yerusalem untuk beribadah. Kisah ini menunjukkan bagaimana keputusan strategis para pemimpin politik dapat memiliki dampak jangka panjang yang membentuk jalannya sejarah bangsa.